"Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya"

"Coba Lak, jadi manusia. Yang nggak mengatur apa yang nggak kamu kuasai."


Beberapa waktu belakangan aku sedang mengalami sesuatu yang lebih dari overthinking, tetapi over-controlling dan over-expecting. Hahaha, ada nggak sih istilah itu sebenernya?

Anyway,
Banyak hal yang aku kejar, banyak hal yang aku inginkan, banyak hal yang aku merasa harus mendapatkannya. Sampai semua keinginan itu membuatku nggak karuan sendiri.

Kemarin, baru dua hari kemarin.
Aku menjalankan seminar proposal. Dan semprop itu memberiku insight yang mahal.
Beberapa orang tahu bahwa aku ingin cepat lulus, maka dari itu aku terkesan ngebut ngerjain bab 1-3 agar bisa segera semprop dan ambil data.

H-2 menjelang semprop, bukannya aku belajar untuk semprop, tapi aku malah cari subjek dan psikolog untuk penelitianku yang padahal belum tentu di-ACC sepenuhnya. Aku juga sibuk bantu share skala adekku, mikirin ini, mikirin itu, dan sebagainya. Mikirin dan kontrol semuanya seakan-akan aku punya kuasa terhadapnya.

Aku lupa menjadi manusia.

Sampai harinya, datanglah hari aku semprop. Harapanku awalnya-- semprop berjalan dengan lancar, sedikit revisi, bisa langsung nyicil ambil data. Eh ternyata enggak sesuai harapan.

Revisinya banyak dan besar. Selama semprop aku cenderung tenang, menjawab, meski beberapa kali meminta penguji untuk mengulang pertanyaan karena aku nggak hadir di situ. Kebanyakan sih, perasaanku datar karena saking messed up nya, aku cenderung flat.

Seusia semprop, mas Bima mendekatiku dan menyemangatiku. Begitu dosen keluar, aku nangis.

but my friends there. Mereka bilang "Revisi banyak itu nggak apa, you did your best."

Revisi banyak bukan satu-satunya hal yang kupikirkan saat itu, tetapi gimana cara revisinya, aku harus ngapain, yang kubetulin itu apa, aku bisa selesai cepet nggak ya, duit dari mana, dan blabla rasanya nampar-nampar pipiku.

Sampai akhirnya Ridho bilang, "Lak coba di-los. Tense mu tinggi banget."

"Aku percaya sih Rid, Tuhan bakal kasih jalan."
"Kamu ni percaya sama Tuhan, atau malah ngatur Tuhan? Coba jadi manusia."

Dari situ aku mencoba berprasangka kepada Tuhan, mungkin Tuhan ingin aku slow down dulu, nggak kontrol semuanya, dan pengen aku sadar bahwa aku sejatinya hanya manusia.

Kemakan bio twitter sendiri

Lalu dua hari ini aku mencoba untuk merevisi proposalku.
Banyak hal yang kuhindari tetapi malah harus kukerjakan, salah satunya adalah psikometri.
Sebagai mahasiswa psikologi yang rabun angka, sungguh psikometri adalah pelajaran tersulit buatku huhu. 

Barusan ini, aku ngeluh ke mas Bima.
"Aku pengen pinter deh, Mas. Sedih aku gini aja ga bisa-bisa."

Lalu kata Mas Bima,
"Lak, menjadi pintar itu limit. Kalau kamu pengen jadi pinter, ya kalo udah merasa pintar, berhenti kamu belajar. Tapi kalo kamu membuka ruang untuk mengembangkan diri ya nggak akan selesai."

Lagi-lagi aku belajar untuk menjadi manusia seutuhnya.
Tadinya aku cukup sedih karena merasa nggak pintar psikometri, tetapi sedikit demi sedikit aku merasa lega karena aku bodoh psikometri dan orang bodoh akan terus belajar.

Jadi inget bio twitternya Gus Mus

Dari dua kejadian tersebut aku meyakini bahwa aku akan terus belajar menjadi manusia seutuhnya.
Manusia yang sekedar mahluk, yang memang tidak diberikan kuasa untuk mengontrol apapun terutama mengontrol Tuhan, manusia yang memang kurang, manusia yang akan terus belajar dan berjuang hingga diperkenankan untuk menginjakkan kaki di tempat kembali.

Papa dan Islam yang Penuh Kasih Sayang

"Mas Agus ini, sering menyenangkan hati orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri."


Salah satu pelajaran yang aku dapatkan dari sakit hingga kepulangan papa adalah tentang mengasihi orang lain. Sejak papa sakit, papa menghabiskan waktunya di rumah bersama mama. Apakah mereka berdua kesepian? Aku pikir enggak.

Ketika papa dirawat di rumah sakit, setiap jam bezuk, pasti selalu ada teman papa atau teman mama yang datang menjenguk. Bahkan, beberapa teman papa nekat bohong ke satpam agar bisa masuk untuk menjenguk di luar jam bezuk.
Ketika papa dirawat di rumah, setiap hari selalu ada yang datang berkunjung ke rumah dan nggak cuman satu kali atau satu orang. Minimal tiga lah.

Aku tahu papa punya buanyak teman. Buanyak. Tapi aku nggak nyangka hingga sebuanyak itu.

Apalagi saat papa berpulang.
Call me lebay, but I swear.. terlalu banyak yang datang hingga satu gang penuh oleh kerabat.
Nggak hanya satu gang, bahkan mobil-mobil terparkir hingga hampir keluar perumahan.
Solat jenazah udah kayak solat Jumat.
Dan, terlalu banyak yang benar-benar menangis hingga meraung-raung karena menyesal belum sempat bertemu papa.

People keep telling us, "Papamu orang baik. Aku yakin papamu khusnul khatimah.", "Papamu pernah bantu aku.", "Wah saya kangen dipanggil Pak Agus dari jauh, suaranya banter"--dan segala kebaikan papa disebutkan.

Dari berbagai kejadian tersebut, aku baru benar-benar menyadari bahwa papa adalah orang yang baik dengan sesama.

Papa bukan muslim yang ibadah terus. Ibadah yang bisa dilakukannya, ya dilakukan dengan maksimal. Sesederhana itu. Tapi hubungan sosialnya ternyata sebaik itu. Kasihnya kepada orang lain ternyata setulus itu. Papa nggak pernah menghakimi orang karena perbedaan. Papa bersahabat dengan mereka yang tidak bertuhan hingga mereka yang dekat dengan Tuhan. Papa bersahabat dengan mereka yang kyai hingga pendeta. Papa bersahabat dengan siapa saja dan senang untuk melihat sisi baik orang lain, meski hanya orang itu punya-semangat-kerja.

Seperti biasa, Tuhan suka sekali mengejutkanku. Ketika aku sedang banyak merenungi hubungan sosial Papa, Tuhan mengantarkanku pada hal-hal yang menguatkanku bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan hubungan sosial, Islam adalah agama yang berbasis kasih dan kebaikan. Bukan hukum dan ibadah semata.

Tiba-tiba Tuhan mempertemukanku dengan buku Dari  Allah Menuju Allah, kemudian vlog-vlog Habib Husein, teman-teman yang bisa diajak diskusi, kyai yang menegaskan bahwa 'menebarkan salam kepada siapapun (tidak memandang SARA)' adalah ibadah yang disenangi Tuhan, dan lain sebagainya.

Papa memang tidak pernah menyuruh kami untuk mengasihi orang lain. Tapi kami belajar dari sikap papa.
Papa bukan ayah yang hobi nuturi atau memberikan nasihat. Tapi kami belajar dari kejadian yang dialami papa.
Papa bukan muslim yang sehariannya digunakan untuk melakukan ritual ibadah. Tapi kami belajar dari kehidupan sosial papa.
Kami belajar dari papa bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih, cinta, dan Rahmatan Lil Alamin.

"Kalau mau ngasih orang, kasihlah barang yang mereka nggak bisa beli sendiri."

Hingga akhirnya, hati papa sudah lelah dan Tuhan ingin papa kembali.




PS.
Jika kamu membaca ini dan kamu Muslim, aku boleh minta Al Fatihah untuk papaku?
Jika kamu beragama lain, tentu aku juga minta doamu untuk papaku ya. 

Tentu, jika kamu berkenan :)

Talking About Ex and Whatever

"Jangan malu, Lak. Semua itu kan yang membentuk kamu sampe sekarang ini."
Dalam perjalanan ke Semarang, aku mbatin, "Di tahun 2018 ini aku udah melakukan perubahan apa ya? Kayaknya kok nggak ada bedanya, jadi nggak ada ide untuk nulis."
Mikir dan terus mikir sampai akhirnya aku ingat bagaimana aku yang dulu; dulu itu ya mungkin 1-beberapa tahunan yang lalu.

I was suck at relationships. Any relationships.

Diingat-ingat, banyak hal yang sengaja kulakukan yang sebenarnya untuk tujuan melindungi diri tetapi malah nyakitin orang lain. Playing victim, being offensive, sengaja ngomong nggak enak biar orang lain merasa bersalah, dan bla-bla-bla. Sampai akhirnya aku sadar, hal-hal seperti itu memang kadang muncul tanpa diminta dan mungkin perilaku tersebut merupakan kompensasi dari diriku yang belum stabil. 

Aku ingat, my ex and I sering berdiskusi tentang playing victim, double standard, offensive, kesel sama satu orang dan berdampak ke lainnya, dan sikap-sikap tidak baik dalam berhubungan lainnya; dan bagaimana cara mengatasinya. Ngga hanya dengannya, aku juga berdinamika dengan keluarga,  teman-temanku, klien, orang yang nyipratin air kubangan ke aku di jalan, warganet, dan lain sebagainya. Mungkin kalau aku nggak berdinamika bersamanya dan ngga menyikapinya dengan dewasa, aku nggak akan sadar bahwa sikap-sikap itu kurang tepat. Kadang emang sakit hati sih. Namanya juga berkonflik. Tapi kemudian aku analisis, kenapa aku seperti itu? Apa tujuanku bersikap seperti itu? Hal apa yang menyinggung di diriku ketika mereka kritik aku seperti itu?

Meski, sampe sekarang aku kadang masih being suck at people, paling nggak aku sudah tahu ada yang salah dan tahu bagaimana kontrol diri agar nggak semena-menan sama sikapku.


Hal itu membuatku bersyukur dengan apa yang sudah kulalui selama ini.

Meski rasanya nggak enak (dikritik, push ourselves to get solutions, etc), tapi kalo nggak ada kejadian itu aku nggak belajar.
Meski my ex, keluarga, dan teman-temanku ngga menasihatiku secara tersurat tentang apa yang harus aku lakukan, tapi mereka mengajariku banyak hal melalui pengalaman.

Aku selalu percaya, pertemuan kita dengan siapapun pasti ada arti dan pelajarannya. Aku selalu percaya bahwa nggak ada yang kebetulan, termasuk pertemuan dan pengalaman.

Jadi, terima kasih untuk siapapun yang sudah berkontribusi dalam proses pendewasaanku.
Terima kasih diriku. Terima kasih Tuhan.

Mari kita hadapi 2019 dengan lebih baik.



Memberi Kasih Melalui Terima Kasih

"Nggak apa sih kalo kamu mau dateng ke Yogya, tapi kamu tahu gambaran aktivitasku di hari-hari itu. Aku nggak bisa ngajak kamu ke mana-mana."
"Nggak apa, aku temani kamu ngerjain laporan aja."
 "Baiklah. Terima kasih ya sudah mengerti."

Suatu malam, aku mengobrol dengan Mukti, temanku sedari SD, melalui aplikasi chatting. Obrolan kami dimulai dari tidak-bisanya-dia-main-ke-Yogya-sebelum-dia-berangkat-kerja-ke-Sumatera sampai akhirnya Bianglala-berkeluh-kesah. Di akhir percakapan kami, aku bilang, "Makasih banyak ya Muk, sudah mau tak curhatin.", lalu dia mengatakan hal sederhana (yang mungkin cenderung iseng) tetapi menjadi insight ku untuk nulis tulisan ini:
"Kalo temanan sama anak psikologi tu gini ya, apa-apa diapresiasi."
Em.

Padahal cuman ucapan terima kasih.
Tapi kemudian aku mulai flashback ke beberapa kejadian akhir-akhir ini. Dipikir-pikir, beberapa waktu belakangan aku lebih banyak bilang terima kasih, apalagi jika dibandingkan dengan maaf. "Terima kasih sudah mengerti.", "Terima kasih sudah menunggu.", "Terima kasih sudah menjawab", "Terima kasih sudah terbuka.", "Terima kasih sudah tidak merokok di depanku.", "Terima kasih sudah memaafkanku.", "Terima kasih sudah berprasangka baik." dan terima kasih-terima kasih lainnya.

Ternyata bilang terima kasih itu rasanya nyaman dan terapeutik buat diriku sendiri. Di dalam persepsiku, aku merasa orang lain memberiku kasih dan aku menerimanya. Menurutku kasih itu luas dan mewakili banyak hal. Termasuk kebaikan-kebaikan kecil seperti mengerti, terbuka, menunggu, sampai yang besar seperti memaafkan. Dengan mengucapkan terima kasih, aku merasa kasih dari orang lain sampai kepadaku dan aku sangat mengapresiasinya. Alhasil, orang yang kuberi ucapan terima kasih juga merasa mendapatkan kasih karena kebaikannya diapresiasi.

Sederhana, tetapi menebarkan cinta. Bisa mulai kita coba. ;)
 
Tulisan sederhana ini aku dedikasikan untuk Mukti, saingan waktu SD yang akhirnya menjadi teman super baik sampai sekarang. Good luck di Sumatera, jangan lupa balik Semarang dengan membawa seseorang yang bisa kamu kenalkan ke aku. HAHAHA!

"Kapan Nikah, Lak?" dan Pertanyaan-Pertanyaan (yang Terkesan) Menyakitkan Lainnya

Mungkin sekitar empat atau lima tahunan lalu, seorang yang tidak saya kenal bertanya kepada saya, "Kuliah psikologi tuh entar kerjanya apaan, sih?". Sebagai mahasiswa super baru yang belum banyak tahu ilmu apalagi profesi dengan defense mechanism yang cukup tinggi berkata, "Ya.. bisa di mana-mana. Bisa kerja di advertising. Kan pake ilmu Psikologi bisa tau gimana caranya agar iklan bisa masuk ke alam bawah sadar manusia.". Lalu orang yang tidak dikenal tersebut bilang, "Wuuuusss." dengan nada yang kala itu saya merasa dia agak menghina. Lalu saya tersinggung, lalu saya nulis di blog. Saya bilang bahwa saya heran kenapa ada orang yang nggak tahu lulusan fakultas Psikologi kelak bisa bekerja sebagai apa.

Kemudian empat tahun-lima tahunan setelahnya, saya mendapat pertanyaan-pertanyaan yang biasa didapat oleh orang seusia saya:

"Kapan lulus?"
"Kenapa lanjut kuliah, kenapa enggak kerja?"
"Kuliah mulu, kapan cari duitnya?"
dan tentu saja, "Kapan nikah?"

Kita semua tahu, bahwa kita nggak akan berhenti untuk ditanya oleh sosial. Sosial juga ngga akan berhenti untuk nanya kita. Isu pertanyaan-yang-terkesan-menyakitkan ini kembali panas beberapa waktu terakhir karena saya berada di usia yang rawan ditanya dan kemarin lebaran. Akhirnya, banyak orang di media sosial menyatakan bahwa 'Mbok udah, kalo mau basa-basi tu jangan yang menyakitkan.", di sisi lain ada pula netizen yang berpendapat, "Kalau memang mereka cuman mau nanya gimana? Masa nggak boleh? Kan perhatian?"

Tapi siapalah kita yang bisa mengontrol sosial?
Satu-satunya yang bisa kita kontrol adalah diri sendiri, bukan?

Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah kutipan di linimasa twitter saya,
"Semakin kamu enggak kenal dirimu sendiri, semakin terbuka kemungkinan omongan orang lain akan menyakiti hatimu." - @adjiesantosoputro

Saya mikir lama untuk bisa mencerna kutipan itu.
Sampai akhirnya siang tadi ketika sedang berdiam diri saya mendapatkan sebuah insight.

Saya awalnya mikir, kenapa orang kok mudah tersinggung dan marah hanya karena pertanyaan?
Ngga usah orang lain lah, saya aja gampang tersinggung kok.
Saya jadi ingat kejadian empat-lima tahunan lalu di mana saya bisa setersinggung itu ketika ada orang nanya apa kerjaan lulusan Psikologi, kenapa ya? Sedangkan kalau dibandingkan dengan saya yang sekarang, kalo ada yang nanya "Nanti kalau sudah lulus mapro, kamu mau kerja apa?" saya akan sangat antusias untuk menceritakan cita-cita saya.

Nah itu.

Mungkin karena dulu saya belum kenal.

Saya belum kenal dengan diri saya sendiri. Saya punya kelebihan apa, punya potensi apa, kekurangannya apa, suka bekerja dengan kelompok atau sendiri, saya belum sepenuhnya kenal. Meski saat ini pun saya masih belajar untuk kenal dengan diri saya sendiri,

Saya belum kenal dengan apa yang sedang saya jalani. Bukan berarti sekarang saya sudah kenal sepenuhnya dengan Psikologi, tetapi paling nggak, Lala yang sekarang sudah jauh lebih kenal dengan Psikologi jika dibandingkan yang dulu.
Lala yang dulu masih meraba-raba juga sebenarnya kelak lulusan Psikologi bisa kerja sebagai apa ya? Gajinya banyak nggak ya? Bisa bermanfaat nggak ya? 

Lala yang dulu juga belum kenal dengan target-target hidupnya.
Belum tahu, abis lulus mau apa, pengen nikah usia berapa, pengen menggapai apa saja. Akhirnya, ketika orang lain bertanya, bawaannya kesel karena mungkin di dalam diri ada pertanyaan juga, "Kenapa aku nggak tahu jawabannya sih? Kan itu tentang diriku sendiri?", tapi namanya manusia ya... yang ada kita malah melakukan defense mechanism dan yang muncul, "Lah, kok nggak sopan sih nanyanya?", "Lah masa nggak kayak gitu ditanyain sih?"

Mungkin :)

Kembali ke sebuah kutipan dari Adjie Santosoputro tadi. Barangkali, jika kita sudah kenal dengan jelas tentang diri kita, sudah kenal jelas tentang lingkungan kita, sudah kenal dengan jelas tujuan hidup kita, akan semakin mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial. Contohnya:

"Lala kapan nyusul kakaknya nikah?"
"Nanti Om, Lala mau selesaiin S2 dulu."
"Lho anak Om ni, bisa kok kuliah S2 sambil nikah."
"Iya Om, tapi Lala merasa sepertinya kurang mampu untuk melakukan keduanya bersamaan."

Nah, karena Lala sudah tahu bahwa kuliah S2 nya mungkin nggak sama dengan kuliah S2 lainnya, sudah kenal dirinya yang masih suka kewalahan ngurusin diri sendiri (apalagi ditambah tugas, apalagi kalo nikah huhu), sudah tahu target hidupnya sendiri (pengen segera menyelesaikan kuliah dulu), maka Lala bisa menjawab dengan suka cita tanpa ada (kalopun ada mungkin lebih sedikit) perasaan tersinggung.

Jika kelak ternyata target atau cita-cita Lala ngga sesuai dengan kenyataan gimana dong?
Namanya juga hidup. Hidup kan seninya menerima dan melepaskan, tho?

Membantah Bianglala di tahun 2016

And one day, someone will knock my door and say "Home, I'm home."
Seseorang pernah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah rumahnya. Aku adalah tempat di mana ia kembali dan blablabla. Ya, kamu tau kan maksudku. Aku pun demikian, di tahun 2016 aku sangat menyukai konsep rumah itu ada pada seseorang yang kepadanya aku merasa sangat nyaman. Entah orangtua, adek, pasangan, teman, dan lain sebagainya.

Tapi di tahun 2018 ini dengan tegas aku membantah diriku sendiri tentang konsep rumah adalah 'orang tempat kita berpulang'.

Pikiranku bertumbuh dan berkembang seiring dengan pengalaman-pengalaman yang aku terima dua tahun ini. Aku banyak membaca bahwa ternyata rumah itu bukan orang lain, rumah itu diri ku sendiri. Aku mengalami pengalaman di mana tempat ternyaman itu seharusnya adalah diriku sendiri, bukan orang lain. Aku menyadari bahwa tempat seharusnya aku mengadu dan bergantung adalah kepada Tuhan dan kemudian diriku sendiri, bukan orang lain.

Orang itu dinamis, kata seseorang di twitter. Ah bener juga.
Barangkali saat ini dia begitu nyaman dan memahamiku tapi siapa yang tahu kalau besok dia sudah tidak nyaman lagi? Sedangkan diriku sendiri adalah yang paling memahamiku dan satu-satunya yang bisa aku kontrol.

Tetapi sebenernya, konsep rumah adalah orang lain dan rumah adalah diri sendiri adalah dua konsep yang nggak bisa kita samakan sepenuhnya. Aku nggak bohong bahwa kadang aku butuh orang lain yang bener-bener membuatku nyaman. Tapi di luar itu, seharusnya tempatku 'berpegangan' secara utuh adalah diriku sendiri (tentu bagiku Tuhan nomer satu).

Dengan pemikiran yang berubah ini, aku jadi lebih siap jika sewaktu-waktu orang lain akan mengecewakanku, karena aku belajar untuk tidak bergantung sepenuhnya kepadanya.

Anyway, dengan berubahnya pikiranku ini, aku merasa aku bertumbuh. Dengan membantah diriku sendiri di masa lalu ini aku merasa aku berkembang. And I'm proud of me. Tulisanku di tahun 2016 tentang rumah adalah sosok orang lain tidak aku hapus karena dialah salah satu saksi perkembangan dan pertumbuhan pikiranku.

Dari sini juga aku belajar tentang perbedaan opini. Jika ada orang yang opininya berbeda denganku, bisa saja karena posisi perjalanannya berbeda denganku. Sehingga saat ini, penerimaanku bisa lebih luas.


PS. Bisa saja kelak, pemikiranku tentang hal ini akan berubah dan terus berubah.

Perjalanan Mencari Passion

Pernah dalam suatu masa di hidup saya di mana saya kehilangan arah.
"Bener ngga sih Psikologi itu passionku?"
"Kok aku nggak suka ya dengan penelitian psikologi?"
"Kok males ya baca jurnal penelitian?"
"Kayaknya kalo udah lulus aku pengen wirausaha aja."
"Aku nih bener nggak sih kuliah di sini?"


Saya lupa kapan tepatnya, tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut nggak terjawab sampai waktu yang sangat lama. Saya sempat bosan sekali belajar Psikologi. Kayaknya kok ngga semenarik ketika saya benar-benar menginginkannya saat SD dulu.


Kata seorang teman SD, ketika SD dulu saya pernah bilang kalo pengen jadi psikolog. Kala itu tepat setelah saya mengabarkan kepadanya bahwa saya diterima di Fakultas Psikologi UGM. "Wah sesuai cita-citamu sejak SD ya, La." Katanya. Oh ya? Bahkan saya saja lupa. Kedua orangtua saya kuliah di jurusan Psikologi, mungkin saat itu saya ingin menjadi psikolog karena kala itu profesi psikolog masih jarang sekali dan nampak mengasyikan.

Blablabla, saya berjuang keras sekali untuk bisa sampai sini.
Saya bersekolah di sekolah-sekolah yang dianggap bisa menjadi jembatan saya ke UGM (Oh ya, ketika SMP saya pernah punya cita-cita kuliah di Jogja meski saat itu saya ngga tau kuliah di Jogja itu seperti apa). Yang menurut saya cukup ekstrem adalah masa-masa SMA di mana tekanan akademis di SMA saya (bagi saya) sangat berat. Entah di kelas berapa, saya bego banget matematika (iya sebenernya saya kurang mampu matematika). Saya bisa les di beberapa tempat dengan beberapa guru hanya untuk menghadapi ulangan matematika. Pernah saya les jam empat pagi untuk menghadapi ulangan jam delapan pagi. Se-ngga pede dan se-bego itu. Hingga pernah suatu saat, nilai saya di atas KKM (KKM di sekolah saya untuk matematika adalah 78), saya meluk guru matematika saya, "Bu nilai saya di atas KKM!" dan Bu Ning yang baik hatinya membalas pelukan saya, "Tu kan, kowe ki iso!".


Anyway, kalo dipikir-pikir, buat apa pelajaran integral untuk calon psikolog ini? Nggak ada. Tapi saya belajar, kadang untuk bisa mencapai apa yang kita inginkan, harus melewati hal ngga enak dulu. Apapun itu. Akan digunakan atau nggak hal itu di keinginan kita, pokoknya kita harus bisa aja. Mungkin itu sama kayak ujian apakah kita seniat itu untuk mendapatkan keinginan kita. Terima kasih matematika.


Saat kuliah S1, saya menemukan diri saya berkali-kali bertanya, apakah ini yang cocok denganku dan apakah ini yang aku mau?
Sampai akhirnya saya mengalami masa-tidak-tahu-harus-bermimpi-apa. Saya melihat beberapa teman sudah concern dengan kesukaannya masing-masing dan saya masih di sini-- mengerjakan skripsi dengan hasrat naik turun. Kadang ngerjain karena tertarik, kadang ngerjain karena harus ngerjain aja. Sempet down banget dan kebingungan.

Setelah menyelesaikan studi, saya nggak langsung memutuskan untuk "Oke, aku lanjut S2.". Meski padahal ibu saya sudah memburu-buru sidang hanya agar saya bisa wisuda mei agar saya bisa lanjut S2 di tahun itu. Padahal, saya belum sepenuhnya mau untuk S2. Di samping harganya mahal, ya karena harganya mahal. Sebenernya karena itu.

Tapi memang ya, Tuhan Maha Membolak-balikan hati. akhirnya hati saya teguh untuk lanjut S2.

Bla-bla-bla-urus sanasini-keterima-belajar-blablabla.

Akhirnya saya nemu di mana asyiknya Psikologi.

Asli saya baru ngerasain mengerjakan dan mendalami passion itu di S2 ini. Saya baru paham di mana enaknya psikologi di S2 ini. Baru excited ketika baca jurnal, ketika denger kasus, ketika pengen tau ini-itu, ketika pengen meneliti, ketika pengen belajar karena suka bukan semata-mata karena nilai ya di S2 ini. Padahal yang dipelajari hampir sama dengan di S1. Tapi entah, rasanya bener-bener beda.

Dan malam ini, ketika sedang membaca GRIT, saya menemukan line yang bener-bener tepat menggambarkan apa yang saya alami.

Di bagian minat, dijelaskan bahwa sebenernya passion atau minat itu bukan yang sekejap mata muncul. Kita sering mendengar orang bilang bahwa "Duh kalo nggak ngerjain yang bukan passion-ku tu aku ngga bisa." Padahal ya ada masa dalam hidup mereka sebelumnya ketika merek mampu melakukan hal lain*. Ambilah contohnya diri saya sendiri, saat ini mungkin saya bilang "Aku nggak bisa melakukan hal lain selain Psikologi." Padahal ya saya pernah bisa mengerjakan soal-soal matematika, saya juga bisa kalo diajak ngobrol politik. But anyway, coba refleksikan itu ke dalam dirimu, pasti pernah terjadi.

Selain itu dijelaskan juga bahwa passion itu seperti jodoh,


Barry Schwartz, seorang pengajar psikologi di Swarthmore College berpikir bahwa yang mencegah banyak orang muda untuk mengembangkan minat karir yang serius adalah harapan yang tidak realistis. "Ini sebenarnya masalah sama yang dihadapi banyak orang muda saat mencari kekasih. Mereka menginginkan seorag kekasih yang benar-benar menarik, pintar, baik, berempati, bijak, dan lucu. Cobalah mengatakan pada seseorang berusia 21 tahun bahwa ia tidak akan menemukan orang yang benar-benar terbaik dalam segala hal."



"Lalu bagaimana dengan istri Anda?" Tanya Duckworth (penulis buku ini).



"Oh ia menakjubkan. Tapi apakah dia sempurna? Apakah ia satu-satunya orang dengan siapa saya bisa hidup bahagia? Apakah saya satu-satunya pria di dunia dengan siapa ia bisa menjalani pernikahan dengan menabjubkan? Saya rasa tidak." Masalah yang terkait adalah mitos bahwa jatuh cinta pada karir harus mendadak dan cepat. "Ada banyak hal ketika kecerdikan dan kegembiran baru dirasakan saat Anda bertahan lama pada sesuatu, menelaah secara mendalam. Banyak hal terlihat tidak menarik dan dangkal sampai Anda mulai melakukannya, dan setelah beberapa saat, Anda menyadari bawa ada banyak segi yang awalnya tak Anda ketahui, dan Anda tak bisa sepenuhnya memecahkan masalahnya, atau memahaminya sepenuhnya. Yah ini berarti Anda harus bertahan dengannya. Sebenarnya mencari jodoh adalah analogi sempurna. Bertemu dengan calon jodoh-- bukan satu-satunya jodoh yang sempurna-- barulah permulaan."*

Ya Tuhan. Rasanya kayak si Barry ini sedang menyimpulkan apa yang saya rasakan tentang ilmu Psikologi. Awalnya penasaran, mendalami, mendalami, merasa nggak cocok, oh ternyata nggak cocok karena kurang dalam, dalami lagi, dalami terus, dan akhirnya klik!


Kadang emang ada hal-hal yang harus kita lakukan dan dalami meski mungkin awalnya kita nggak suka dengan hal tersebut. Tapi mungkin, nggak suka itu karena kita kurang dalem aja menelaahnya. Tapi di sisi lain, ada juga kok hal yang udah kita dalamiii terus tapi tetep aja nggak bisa kita sukai. Kalo kata seorang sahabat, Sadida, passion itu bisa aja berubah-ubah dan kita terus mencari. Mungkin nanti akan ada masanya lagi di mana aku mulai bertanya-tanya apa bener ini jalanku? Karena menurutku, semua ini proses, perjalanan, pembelajaran, yang jawabannya hanya bisa kita temukan dengan terus melakukannya. Nasihat untuk mengikuti passion bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, yang mungkin lebih bermanfaat adalah memahami bagaimana passion dipupuk sejak awal*.


"Hasrat pada pekerjaan Anda adalah sedikit penerimaan, yang diikuti oleh perkembangan, lalu pendalaman sepanjang hidup." Angela Duckworth.

Referensi:
*Duckworth, Angela. 2016. Grit: Kekuatan Passion dan Kegigihan. Terjemahan oleh Fairano Ilyas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



Melepas Impian (1)

"Tuhan mengabulkan doa di saat aku sendiri sudah lupa untuk memanjatkannya." - Status Lineku sekitar empat tahun yang lalu.
Pada suatu pertemuan di kelas Psikologi Positif, dosen saya, Prof Kwartarini menuntun kami untuk melakukan dream building. Singkatnya, dream building itu adalah memvisualisasi dan merasakan mimpi kami dengan detil dalam keadaan relaksasi dalam. Kala itu mimpi yang kami visualkan adalah mimpi untuk wisuda di tanggal yang sudah kami tentukan dan inginkan.

"Buat sedetail mungkin ya. Tanggal kalian ujian, bulan, tahun, waktunya.. tempatnya di mana kalian bakal ujian.. sampai wisudanya juga dibuat seperti itu."

Sebagai salah satu kaum yang meyakini mimpi-itu-gratis-maka-bermimpilah, ya sudah saya tuliskan dengan detail semuanya, saya visualkan dan rasakan dengan detail semuanya bahkan saya membayangkan kelak saat wisuda ada pendampingnya. Oh ya tentu keluarga saya. :)

Beberapa waktu setelahnya, saya bertemu dengan Prof Kwartarini untuk konsultasi karena besoknya saya harus menerapi beberapa orang dream building tersebut.

"Kamu gimana kemarin waktu (saya terapi) dream buildingnya?" Tanyanya.
"Saya bisa kok Bu memvisualkan semuanya, bahkan sampai saat ini saya masih ingat warna kebaya wisuda saya."
"Lho jangan. Jangan kamu kekepi (genggam) terus. Lepaskan. Biar semesta yang bekerja."
"Oh gitu ya Bu? Berarti konsepnya beda dengan law of attraction yang semakin kita memikirkan suatu hal maka sesuatu itu akan datang ke kita?"
"Dikuatkan boleh. Misal ketika mau tidur, kamu memvisualkan kembali, seperti apa.. Tapi ketika sedang beraktivitas seperti ini, dilepaskan."

I got it.

Tepat setelah saya selesai menerapi klien-klien saya, saya bertemu dengan seorang teman di ruang tunggu lantai tiga. Kami berbincang tentang target dan impian.

"Aku ini Lak, selalu punya target-target di hidupku." Katanya. "Abis lulus pengen kerja di sini, lalu pengen nikah di usia segini, lalu pengen punya anak setelahnya. Tapi ada hal yang akhirnya menjadi titik balik, bahwa ternyata ada kekuatan di luar kekuatan kita."
"I see."
"Pas aku narget pengen punya anak, ternyata aku ngga kunjung bisa punya anak. Aku usaha ini itu dan sebagainya.. sampai akhirnya aku menyerahkan dan mengikhlaskan ke Tuhan. Ketika aku sudah mengikhlaskan, alhamdulillah akhirnya aku bisa punya anak."

Dari dua kisah tersebut aku belajar tentang kekuatan melepaskan.
Mungkin ada beberapa keinginan kita yang bener-bener kita genggam, kita kekepi terus sampai membuat kita capek sendiri. Buruknya, ketika kita ngga mendapatkan keinginan itu, kita bisa kecewa, marah, dan uring-uringan. Padahal memilikinya saja belum pernah.

Melepaskan bukan berarti kita pasrah nggak melakukan apa-apa. Ngikut ke mana air mengalir. No.

Melepaskan itu menurutku adalah sesuatu yang berat. Perlu usaha, perlu waktu. Apalagi melepaskan ke yang Maha Pemilik Hidup ini. Melepaskan dengan artian mengikhlaskan bahwa yang menjadi ketentuan-Nya bagi kita adalah yang terbaik.

Mengikhlaskan bahwa kadang ada banyak hal yang ngga bisa kita lakukan karena kita sebatas manusia.

Bianglala dan Memasak (1): Menghemat Ratusan Ribu Berkat (Ala-ala) Meal Preparation. This is Anak Kosan Life Hack!

"Kalo bisa, sebelum nikah tu belajar ini itu dulu Mbak. Jangan kayak Mama, dulu pas awal-awal nikah bingungan. Untung oma deket, bisa tanya-tanya oma."

Aku sering lihat seorang teman, Cei namanya, membawa bekal ke kampus. Jadi setiap makan siang, dia akan makan di sebuah meja di dekat kelas kami bersama temannya. Ketika aku tanya-tanya dia bawa makan apa, dia cerita kalau setiap pagi dia masak sendiri. Aku cukup kaget waktu itu, karena makanan bekalnya nggak cuman goreng-gorengan yang lima belas menit jadi. Pernah dia bawa ikan balado, sayur bayam, dan makanan-makanan sulit lainnya. Lalu aku tanya, gimana cara dia bisa masak di pagi hari mengingat semester satu waktu itu kami sibuk sekali dengan tugas-tugas.

Cei cerita, kebiasaan di keluarganya adalah menyiapkan 'mau masak apa' untuk sepekan ke depan. Setelah itu, barulah menyetok bahan-bahan makannnya. Kemudian di awal pekan tersebut, keluarga Cei ngolah sedikit-sedikit kayak ngupasin bawang (bawang selalu penting untuk hampir semua masakan dan memakan waktu lama di pengupasan) dan lain-lain.

Wah boleh dicoba nih. Cei bisa masak selama paling nggak setengah jam, ya barangkali aku bisa. Selama ini aku lihat ibuku kalau masak lama sekali. Karena beliau cukup perfectionist. Beras aja dicuci sampe lima kali, sayur, ayam, ikan, dicuci berulang kali. Iya, perfectionist kadang beda tipis sama insecure. Hehe.

Anyway, akhirnya beberapa minggu lalu aku coba untuk beli bahan-bahan makanan di awal pekan. Aku bebas aja milih sayur-sayur kesukaan kayak sawi sendok, brokoli, dan bahan-bahan penting kayak bawang bombay, tomat, dan cabe. Sepulangnya dair belanja, aku mengolah 'setengah jalan' bahan-bahan tersebut. Motongin sawi dan brokoli jadi kecil-kecil contohnya. Lalu beberapa hari ke depan aku masak untuk bekal aku dan adikku.

Berjalan dua minggu, aku merasa banyak keuntungannya masak sendiri. Keuntungannya akan aku jelasin di bawah. Aku mau lanjutin cerita dulu.

Lalu karena lagi pengen diet, aku iseng-iseng bukain vlog orang-orang yang ngasih tips-tips diet sehat. Dari vlog seorang vlogger yang aku lupa namanya, aku dapet satu istilah meal preparation. Karena penasaran, aku googling lah apa itu meal-prep. Kemudian aku nyampe ke tulisan di blog ini dan ini

Satu kata setelah baca-baca tentang meal-prepnya dia:
G I L A. GILA BANGET DENG!

Bisa hemat sampe ratusan juta........ Salut banget sih sama mbak Twelvi ini. Dengan penghasilan yang mungkin gede, dia bisa saving karena masak sendiri. Kalo aku mah, karena mepet jadinya milih masak sendiri wkwk. 

Akhirnya, dengan mengkombinasikan dua cara dari Cei dan Mbak Twelvi, aku lanjutin masak sendiri lagi karena kau merasa dapet keuntungan dari situ. Tapi aku ambil langkah baru, aku nentuin setiap harinya makan apa. Karena ngga ada micowave dan kulkas barengan, jadi ngga enak juga kalo mau niru Mbak Twelvi banget. Jadilah aku ngolah-ngolah bahan makanan setengah jalan, jadi tiap pagi tinggal masak-masak aja.

Dari kebiasaan yang lagi aku coba ini, aku dapet banyak keuntungan, seperti:

1. Hemat
Asli lebih hemat. Belanja untuk keperluan seminggu untuk dua orang tu paling banyak sekitar 30-50 ribu (udah sama beras dan telur). Padahal kalau makan di luar, sehari bisa 30.000. Bayangin aja kalo ditotal ya, anggaplah sehari kalo makan di luar aku habisin Rp 30.000,00 (belum sama jajan printilan atau kalo ngopi di kofisyop, mungkin bisa Rp 50.000,00 ewww). Total aja berarti seminggu bisa Rp 210.000,00-Rp 300.000,00. Kalo aku masak sendiri, Rp 30.000,00 (udah sama ayam dan telur) bisa untuk seminggu aku sendiri. Ditambah kalo kadang pengen jajan atau ngopi. Pol polan, Rp 100.000,00 seminggu. WOWWWWWWWWWWWWWWWW. GILAK. Kayaknya minggu depan aku mau mulai kredit rumah.

Ini salah satu contoh belanjaanku. Bisa untuk seminggu lebih untuk dua orang (aku dan adikku, untuk satu kali makan). Habisnya hanya Rp 63.000,00 (sama ayam potong)


2. Bersih
Dengan masak sendiri, aku bisa menjamin makanan yang masuk ke tubuhku ini bersih. Aku dan adikku nyuci dan mempersiapkan semuanya. Termasuk alat-alat masaknya. Padahal ngga jarang aku dan adikku (yang super duper sensitif sama hal-hal kotor dan bau) sering nemu piring yang masih licin atau ekstremnya, adekku pernah pesen minum di rumah makan padang, terus sedotannya ada bekas lipstick-nya. TRUE STORY.

3. Bangun pagi
Salah satu habit yang dari dulu pengeeeeeeeeeeeeeen banget aku bangun adalah habit bangun pagi dan nggak tidur abis subuh. Bisa bangun jam 4 terus aktivitas dimulai itu kenikmatan sendiri meski siangnya ngantuk-ngantuk dikit. Dengan adanya 'keharusan' masak, paling nggak meski abis subuh masih tidur lagi, bangun setengah enam terus mulai masak udah sesuatu yang hebat bagiku (Biasanya baru bangun jam enaman).

4. Kreatif
"Dengan bahan ini, dengan kemampuanku yang masih sederhana, dengan waktu setengah jam, aku bisa masak apa ya?"
Itu bener-bener butuh waktu cepat untuk mikir kreatif dengan cepat. Aku masak sayur pun paling cuman bisa tumis, kukus, rebus. Jadi biar ga bosen, aku harus olah apa dan gimana agar aku nggak bosan?

5. Multitasking
Meski perempuan, aku ini agak susah multitasking (Karena beberapa sumber bilang kalo perempuan jago multitasking). Aku bahkan kadang ngga bisa nge-chat sambil ngobrol sama orang lain wk. Dan masak, 'mengharuskan' kita untuk bisa multitasking. Motong sambil nggoreng. Nunggu tumisan sambil nyicil nyuci piring. Dan lain-lain.

6. Latihan
Ibuku pernah bilang, kalau masakan istri adalah salah satu hal yang membuat suami kangen ke rumah. Ibuku suka masak dan takdir mempertemukan dengan ayahku yang cocok sekali dengan masakan ibuku. Kedua orangtuaku suka makanan jawa, alhasil setiap ibuku masak, ayahku selalu makan. Ditambah dengan pujian, dan kritik kadang-kadang. Aku suka lihat ayahku yang makan masakan ibuku dengan lahap. Begitu juga dengan aku dan adikku, kami suka masakan ibu kami meski sederhana. Karena hal itu, aku ingin bisa masak untuk keluargaku kelak.

Nah, sekian ceritaku tentang habit yang lagi aku bangun ini. Kalo ada yang mau coba, good luck! Jangan lupa share ke aku gimana pengalaman teman-teman membangun habit masak sendiri ini. Nggak usah susah-susah masaknya. Kalo cuman bisa rebus, kukus, tumis, ya udah itu aja. Karena tujuannya kan untuk diri sendiri, untuk kesehatana dan kehematan diri sendiri, bukan untuk di-update ke instastory dengan caption, "Udah siap jadi istri buat kamu."

Good luck!

Tulisan Terakhir di Usia 22 Tahun

Beberapa jam sebelum usiaku berkurang aku memutuskan untuk menulis.

Beberapa hari belakang, aku bertemu dengan klien pendampingan psikologisku, individu maupun kelompok. Jadi bagi yang belum tau, di semester ini aku harus membantu tiga orang secara individu (mari ke depannya kita sebut dengan istilah klien) dan sekitar belasan klien kelompok (tentu aku membantu mereka bersama timku).

Ada mitos yang mengatakan bahwa, klien yang ditemui oleh psikolog biasanya memiliki masalah serupa dengan psikolog tersebut. MAKA, kami sebagai (calon) psikolog harusnya sudah selesai dengan masalah kami masing-masing dulu sebelum kami menangani orang lain.

Dan, iya.

Klien yang kutemui memiliki masalah yang serupa denganku di masa lalu yang beberapa sedang kuperjuangkan untuk kuselesaikan dan sisanya sudah kuselesaikan dengan baik. Aku juga nggak tau kenapa kok bisa ngepas dan mitos itu beberapa kali terbukti, tapi yang aku rasakan ketika menemui klien dengan masalah serupa, aku rasanya pengen bilang, "Aku pernah lho di posisimu, aku tau rasanya, ayo kita selesaikan bareng-bareng!"

Bener kata Bu Sofi, dengan mengalami dan menerima kejadian negatif maupun positif membuat kita semakin kaya. Dengan semakin kaya, kita bisa share ke orang tentang bagaimana kita menghadapinya. Ditambah kata Bu Bo, kalau kita nggak merasakan sakitnya, kita ngga akan bisa cerita ke orang bagaimana enaknya sehat. 

Aku jadi ingat, sekitar setahun yang lalu ketika aku nulis caption untuk foto ulangtahunku di instagram, aku bilang kalo aku hebat karena sudah menghadapi dunia yang cruel ini. Tapi seiring berjalannya waktu dan pengalaman, aku sadar bahwa dunia ini nggak sejahat itu. Dunia yang nampak jahat ini sebenernya adalah medan tantangan buat kita. Bisa nggak kita terus kuat? Bisa nggak kita bangkit setelah jatuh? Bisa nggak kita mengatasi diri kita sendiri? Kadang aku mikir, berbagai hal berat yang kita hadapi mungkin adalah cara Tuhan bilang sama kita, "Hei sini mendekat ke Aku, Aku tau jalan keluar yang terbaik buat kamu."

Selain itu, mungkin kadang dunia nggak sejahat itu, tapi kita yang belum tahu cara menghadapinya aja. Mungkin kita belum paham sama diri kita sendiri yang membuat kita semakin susah menghadapi dunia karena kita nggak tau senjata apa yang kita punya. Gimana dong cara tau senjata apa yang kita punya?

Cara yang selalu berusaha kulakukan agar tau senjata apa yang aku punya adalah dengan menerima apapun yang terjadi di hidup ini. Mau positif mau negatif, semua coba kuterima. Dalam proses menerima, aku akan mikir, "Oke, aku ternyata sedih karena hal ini, aku kenapa ya kok sedih? Apa yang bisa kuperbuat ketika aku menerima ini?" Lagi-lagi balik ke menerima karena menerima dan menyadari adalah langkah awal kita semakin mengenal diri kita. Semakin kita berlatih menerima dan menghadapi dunia yang luar biasa ini, kita akan semakin tau senjata apa yang kita punya untuk menghadapi hal-hal serupa yang bisa jadi terjadi lagi di kemudian hari.

Jadi kadang, dunia ini nggak salah, orang lain yang kita anggap menyakiti kita nggak salah, situasi nggak salah, waktu nggak salah, kita pun nggak salah, nggak ada yang salah. Namun, adanya situasi sulit yang datang itu adalah cara Semesta melatih diri kita untuk mengenali senjata yang sebenernya kita punya agar kita semakin kuat dan siap menghadapi dunia yang baik-baik saja ini.