Perjalanan Mencari Passion

Pernah dalam suatu masa di hidup saya di mana saya kehilangan arah.
"Bener ngga sih Psikologi itu passionku?"
"Kok aku nggak suka ya dengan penelitian psikologi?"
"Kok males ya baca jurnal penelitian?"
"Kayaknya kalo udah lulus aku pengen wirausaha aja."
"Aku nih bener nggak sih kuliah di sini?"


Saya lupa kapan tepatnya, tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut nggak terjawab sampai waktu yang sangat lama. Saya sempat bosan sekali belajar Psikologi. Kayaknya kok ngga semenarik ketika saya benar-benar menginginkannya saat SD dulu.


Kata seorang teman SD, ketika SD dulu saya pernah bilang kalo pengen jadi psikolog. Kala itu tepat setelah saya mengabarkan kepadanya bahwa saya diterima di Fakultas Psikologi UGM. "Wah sesuai cita-citamu sejak SD ya, La." Katanya. Oh ya? Bahkan saya saja lupa. Kedua orangtua saya kuliah di jurusan Psikologi, mungkin saat itu saya ingin menjadi psikolog karena kala itu profesi psikolog masih jarang sekali dan nampak mengasyikan.

Blablabla, saya berjuang keras sekali untuk bisa sampai sini.
Saya bersekolah di sekolah-sekolah yang dianggap bisa menjadi jembatan saya ke UGM (Oh ya, ketika SMP saya pernah punya cita-cita kuliah di Jogja meski saat itu saya ngga tau kuliah di Jogja itu seperti apa). Yang menurut saya cukup ekstrem adalah masa-masa SMA di mana tekanan akademis di SMA saya (bagi saya) sangat berat. Entah di kelas berapa, saya bego banget matematika (iya sebenernya saya kurang mampu matematika). Saya bisa les di beberapa tempat dengan beberapa guru hanya untuk menghadapi ulangan matematika. Pernah saya les jam empat pagi untuk menghadapi ulangan jam delapan pagi. Se-ngga pede dan se-bego itu. Hingga pernah suatu saat, nilai saya di atas KKM (KKM di sekolah saya untuk matematika adalah 78), saya meluk guru matematika saya, "Bu nilai saya di atas KKM!" dan Bu Ning yang baik hatinya membalas pelukan saya, "Tu kan, kowe ki iso!".


Anyway, kalo dipikir-pikir, buat apa pelajaran integral untuk calon psikolog ini? Nggak ada. Tapi saya belajar, kadang untuk bisa mencapai apa yang kita inginkan, harus melewati hal ngga enak dulu. Apapun itu. Akan digunakan atau nggak hal itu di keinginan kita, pokoknya kita harus bisa aja. Mungkin itu sama kayak ujian apakah kita seniat itu untuk mendapatkan keinginan kita. Terima kasih matematika.


Saat kuliah S1, saya menemukan diri saya berkali-kali bertanya, apakah ini yang cocok denganku dan apakah ini yang aku mau?
Sampai akhirnya saya mengalami masa-tidak-tahu-harus-bermimpi-apa. Saya melihat beberapa teman sudah concern dengan kesukaannya masing-masing dan saya masih di sini-- mengerjakan skripsi dengan hasrat naik turun. Kadang ngerjain karena tertarik, kadang ngerjain karena harus ngerjain aja. Sempet down banget dan kebingungan.

Setelah menyelesaikan studi, saya nggak langsung memutuskan untuk "Oke, aku lanjut S2.". Meski padahal ibu saya sudah memburu-buru sidang hanya agar saya bisa wisuda mei agar saya bisa lanjut S2 di tahun itu. Padahal, saya belum sepenuhnya mau untuk S2. Di samping harganya mahal, ya karena harganya mahal. Sebenernya karena itu.

Tapi memang ya, Tuhan Maha Membolak-balikan hati. akhirnya hati saya teguh untuk lanjut S2.

Bla-bla-bla-urus sanasini-keterima-belajar-blablabla.

Akhirnya saya nemu di mana asyiknya Psikologi.

Asli saya baru ngerasain mengerjakan dan mendalami passion itu di S2 ini. Saya baru paham di mana enaknya psikologi di S2 ini. Baru excited ketika baca jurnal, ketika denger kasus, ketika pengen tau ini-itu, ketika pengen meneliti, ketika pengen belajar karena suka bukan semata-mata karena nilai ya di S2 ini. Padahal yang dipelajari hampir sama dengan di S1. Tapi entah, rasanya bener-bener beda.

Dan malam ini, ketika sedang membaca GRIT, saya menemukan line yang bener-bener tepat menggambarkan apa yang saya alami.

Di bagian minat, dijelaskan bahwa sebenernya passion atau minat itu bukan yang sekejap mata muncul. Kita sering mendengar orang bilang bahwa "Duh kalo nggak ngerjain yang bukan passion-ku tu aku ngga bisa." Padahal ya ada masa dalam hidup mereka sebelumnya ketika merek mampu melakukan hal lain*. Ambilah contohnya diri saya sendiri, saat ini mungkin saya bilang "Aku nggak bisa melakukan hal lain selain Psikologi." Padahal ya saya pernah bisa mengerjakan soal-soal matematika, saya juga bisa kalo diajak ngobrol politik. But anyway, coba refleksikan itu ke dalam dirimu, pasti pernah terjadi.

Selain itu dijelaskan juga bahwa passion itu seperti jodoh,


Barry Schwartz, seorang pengajar psikologi di Swarthmore College berpikir bahwa yang mencegah banyak orang muda untuk mengembangkan minat karir yang serius adalah harapan yang tidak realistis. "Ini sebenarnya masalah sama yang dihadapi banyak orang muda saat mencari kekasih. Mereka menginginkan seorag kekasih yang benar-benar menarik, pintar, baik, berempati, bijak, dan lucu. Cobalah mengatakan pada seseorang berusia 21 tahun bahwa ia tidak akan menemukan orang yang benar-benar terbaik dalam segala hal."



"Lalu bagaimana dengan istri Anda?" Tanya Duckworth (penulis buku ini).



"Oh ia menakjubkan. Tapi apakah dia sempurna? Apakah ia satu-satunya orang dengan siapa saya bisa hidup bahagia? Apakah saya satu-satunya pria di dunia dengan siapa ia bisa menjalani pernikahan dengan menabjubkan? Saya rasa tidak." Masalah yang terkait adalah mitos bahwa jatuh cinta pada karir harus mendadak dan cepat. "Ada banyak hal ketika kecerdikan dan kegembiran baru dirasakan saat Anda bertahan lama pada sesuatu, menelaah secara mendalam. Banyak hal terlihat tidak menarik dan dangkal sampai Anda mulai melakukannya, dan setelah beberapa saat, Anda menyadari bawa ada banyak segi yang awalnya tak Anda ketahui, dan Anda tak bisa sepenuhnya memecahkan masalahnya, atau memahaminya sepenuhnya. Yah ini berarti Anda harus bertahan dengannya. Sebenarnya mencari jodoh adalah analogi sempurna. Bertemu dengan calon jodoh-- bukan satu-satunya jodoh yang sempurna-- barulah permulaan."*

Ya Tuhan. Rasanya kayak si Barry ini sedang menyimpulkan apa yang saya rasakan tentang ilmu Psikologi. Awalnya penasaran, mendalami, mendalami, merasa nggak cocok, oh ternyata nggak cocok karena kurang dalam, dalami lagi, dalami terus, dan akhirnya klik!


Kadang emang ada hal-hal yang harus kita lakukan dan dalami meski mungkin awalnya kita nggak suka dengan hal tersebut. Tapi mungkin, nggak suka itu karena kita kurang dalem aja menelaahnya. Tapi di sisi lain, ada juga kok hal yang udah kita dalamiii terus tapi tetep aja nggak bisa kita sukai. Kalo kata seorang sahabat, Sadida, passion itu bisa aja berubah-ubah dan kita terus mencari. Mungkin nanti akan ada masanya lagi di mana aku mulai bertanya-tanya apa bener ini jalanku? Karena menurutku, semua ini proses, perjalanan, pembelajaran, yang jawabannya hanya bisa kita temukan dengan terus melakukannya. Nasihat untuk mengikuti passion bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, yang mungkin lebih bermanfaat adalah memahami bagaimana passion dipupuk sejak awal*.


"Hasrat pada pekerjaan Anda adalah sedikit penerimaan, yang diikuti oleh perkembangan, lalu pendalaman sepanjang hidup." Angela Duckworth.

Referensi:
*Duckworth, Angela. 2016. Grit: Kekuatan Passion dan Kegigihan. Terjemahan oleh Fairano Ilyas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



No comments:

Post a Comment