"Kapan Nikah, Lak?" dan Pertanyaan-Pertanyaan (yang Terkesan) Menyakitkan Lainnya

Mungkin sekitar empat atau lima tahunan lalu, seorang yang tidak saya kenal bertanya kepada saya, "Kuliah psikologi tuh entar kerjanya apaan, sih?". Sebagai mahasiswa super baru yang belum banyak tahu ilmu apalagi profesi dengan defense mechanism yang cukup tinggi berkata, "Ya.. bisa di mana-mana. Bisa kerja di advertising. Kan pake ilmu Psikologi bisa tau gimana caranya agar iklan bisa masuk ke alam bawah sadar manusia.". Lalu orang yang tidak dikenal tersebut bilang, "Wuuuusss." dengan nada yang kala itu saya merasa dia agak menghina. Lalu saya tersinggung, lalu saya nulis di blog. Saya bilang bahwa saya heran kenapa ada orang yang nggak tahu lulusan fakultas Psikologi kelak bisa bekerja sebagai apa.

Kemudian empat tahun-lima tahunan setelahnya, saya mendapat pertanyaan-pertanyaan yang biasa didapat oleh orang seusia saya:

"Kapan lulus?"
"Kenapa lanjut kuliah, kenapa enggak kerja?"
"Kuliah mulu, kapan cari duitnya?"
dan tentu saja, "Kapan nikah?"

Kita semua tahu, bahwa kita nggak akan berhenti untuk ditanya oleh sosial. Sosial juga ngga akan berhenti untuk nanya kita. Isu pertanyaan-yang-terkesan-menyakitkan ini kembali panas beberapa waktu terakhir karena saya berada di usia yang rawan ditanya dan kemarin lebaran. Akhirnya, banyak orang di media sosial menyatakan bahwa 'Mbok udah, kalo mau basa-basi tu jangan yang menyakitkan.", di sisi lain ada pula netizen yang berpendapat, "Kalau memang mereka cuman mau nanya gimana? Masa nggak boleh? Kan perhatian?"

Tapi siapalah kita yang bisa mengontrol sosial?
Satu-satunya yang bisa kita kontrol adalah diri sendiri, bukan?

Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah kutipan di linimasa twitter saya,
"Semakin kamu enggak kenal dirimu sendiri, semakin terbuka kemungkinan omongan orang lain akan menyakiti hatimu." - @adjiesantosoputro

Saya mikir lama untuk bisa mencerna kutipan itu.
Sampai akhirnya siang tadi ketika sedang berdiam diri saya mendapatkan sebuah insight.

Saya awalnya mikir, kenapa orang kok mudah tersinggung dan marah hanya karena pertanyaan?
Ngga usah orang lain lah, saya aja gampang tersinggung kok.
Saya jadi ingat kejadian empat-lima tahunan lalu di mana saya bisa setersinggung itu ketika ada orang nanya apa kerjaan lulusan Psikologi, kenapa ya? Sedangkan kalau dibandingkan dengan saya yang sekarang, kalo ada yang nanya "Nanti kalau sudah lulus mapro, kamu mau kerja apa?" saya akan sangat antusias untuk menceritakan cita-cita saya.

Nah itu.

Mungkin karena dulu saya belum kenal.

Saya belum kenal dengan diri saya sendiri. Saya punya kelebihan apa, punya potensi apa, kekurangannya apa, suka bekerja dengan kelompok atau sendiri, saya belum sepenuhnya kenal. Meski saat ini pun saya masih belajar untuk kenal dengan diri saya sendiri,

Saya belum kenal dengan apa yang sedang saya jalani. Bukan berarti sekarang saya sudah kenal sepenuhnya dengan Psikologi, tetapi paling nggak, Lala yang sekarang sudah jauh lebih kenal dengan Psikologi jika dibandingkan yang dulu.
Lala yang dulu masih meraba-raba juga sebenarnya kelak lulusan Psikologi bisa kerja sebagai apa ya? Gajinya banyak nggak ya? Bisa bermanfaat nggak ya? 

Lala yang dulu juga belum kenal dengan target-target hidupnya.
Belum tahu, abis lulus mau apa, pengen nikah usia berapa, pengen menggapai apa saja. Akhirnya, ketika orang lain bertanya, bawaannya kesel karena mungkin di dalam diri ada pertanyaan juga, "Kenapa aku nggak tahu jawabannya sih? Kan itu tentang diriku sendiri?", tapi namanya manusia ya... yang ada kita malah melakukan defense mechanism dan yang muncul, "Lah, kok nggak sopan sih nanyanya?", "Lah masa nggak kayak gitu ditanyain sih?"

Mungkin :)

Kembali ke sebuah kutipan dari Adjie Santosoputro tadi. Barangkali, jika kita sudah kenal dengan jelas tentang diri kita, sudah kenal jelas tentang lingkungan kita, sudah kenal dengan jelas tujuan hidup kita, akan semakin mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial. Contohnya:

"Lala kapan nyusul kakaknya nikah?"
"Nanti Om, Lala mau selesaiin S2 dulu."
"Lho anak Om ni, bisa kok kuliah S2 sambil nikah."
"Iya Om, tapi Lala merasa sepertinya kurang mampu untuk melakukan keduanya bersamaan."

Nah, karena Lala sudah tahu bahwa kuliah S2 nya mungkin nggak sama dengan kuliah S2 lainnya, sudah kenal dirinya yang masih suka kewalahan ngurusin diri sendiri (apalagi ditambah tugas, apalagi kalo nikah huhu), sudah tahu target hidupnya sendiri (pengen segera menyelesaikan kuliah dulu), maka Lala bisa menjawab dengan suka cita tanpa ada (kalopun ada mungkin lebih sedikit) perasaan tersinggung.

Jika kelak ternyata target atau cita-cita Lala ngga sesuai dengan kenyataan gimana dong?
Namanya juga hidup. Hidup kan seninya menerima dan melepaskan, tho?

2 comments:

  1. Mbaaak., Aku udah ngefollow mbak. Kapan diaccept 😓😓, aku suka tulisanmu mbak. 👍👍

    ReplyDelete