Tulisan Terakhir di Usia 22 Tahun

Beberapa jam sebelum usiaku berkurang aku memutuskan untuk menulis.

Beberapa hari belakang, aku bertemu dengan klien pendampingan psikologisku, individu maupun kelompok. Jadi bagi yang belum tau, di semester ini aku harus membantu tiga orang secara individu (mari ke depannya kita sebut dengan istilah klien) dan sekitar belasan klien kelompok (tentu aku membantu mereka bersama timku).

Ada mitos yang mengatakan bahwa, klien yang ditemui oleh psikolog biasanya memiliki masalah serupa dengan psikolog tersebut. MAKA, kami sebagai (calon) psikolog harusnya sudah selesai dengan masalah kami masing-masing dulu sebelum kami menangani orang lain.

Dan, iya.

Klien yang kutemui memiliki masalah yang serupa denganku di masa lalu yang beberapa sedang kuperjuangkan untuk kuselesaikan dan sisanya sudah kuselesaikan dengan baik. Aku juga nggak tau kenapa kok bisa ngepas dan mitos itu beberapa kali terbukti, tapi yang aku rasakan ketika menemui klien dengan masalah serupa, aku rasanya pengen bilang, "Aku pernah lho di posisimu, aku tau rasanya, ayo kita selesaikan bareng-bareng!"

Bener kata Bu Sofi, dengan mengalami dan menerima kejadian negatif maupun positif membuat kita semakin kaya. Dengan semakin kaya, kita bisa share ke orang tentang bagaimana kita menghadapinya. Ditambah kata Bu Bo, kalau kita nggak merasakan sakitnya, kita ngga akan bisa cerita ke orang bagaimana enaknya sehat. 

Aku jadi ingat, sekitar setahun yang lalu ketika aku nulis caption untuk foto ulangtahunku di instagram, aku bilang kalo aku hebat karena sudah menghadapi dunia yang cruel ini. Tapi seiring berjalannya waktu dan pengalaman, aku sadar bahwa dunia ini nggak sejahat itu. Dunia yang nampak jahat ini sebenernya adalah medan tantangan buat kita. Bisa nggak kita terus kuat? Bisa nggak kita bangkit setelah jatuh? Bisa nggak kita mengatasi diri kita sendiri? Kadang aku mikir, berbagai hal berat yang kita hadapi mungkin adalah cara Tuhan bilang sama kita, "Hei sini mendekat ke Aku, Aku tau jalan keluar yang terbaik buat kamu."

Selain itu, mungkin kadang dunia nggak sejahat itu, tapi kita yang belum tahu cara menghadapinya aja. Mungkin kita belum paham sama diri kita sendiri yang membuat kita semakin susah menghadapi dunia karena kita nggak tau senjata apa yang kita punya. Gimana dong cara tau senjata apa yang kita punya?

Cara yang selalu berusaha kulakukan agar tau senjata apa yang aku punya adalah dengan menerima apapun yang terjadi di hidup ini. Mau positif mau negatif, semua coba kuterima. Dalam proses menerima, aku akan mikir, "Oke, aku ternyata sedih karena hal ini, aku kenapa ya kok sedih? Apa yang bisa kuperbuat ketika aku menerima ini?" Lagi-lagi balik ke menerima karena menerima dan menyadari adalah langkah awal kita semakin mengenal diri kita. Semakin kita berlatih menerima dan menghadapi dunia yang luar biasa ini, kita akan semakin tau senjata apa yang kita punya untuk menghadapi hal-hal serupa yang bisa jadi terjadi lagi di kemudian hari.

Jadi kadang, dunia ini nggak salah, orang lain yang kita anggap menyakiti kita nggak salah, situasi nggak salah, waktu nggak salah, kita pun nggak salah, nggak ada yang salah. Namun, adanya situasi sulit yang datang itu adalah cara Semesta melatih diri kita untuk mengenali senjata yang sebenernya kita punya agar kita semakin kuat dan siap menghadapi dunia yang baik-baik saja ini.

1 comment: