Di sekitar kosan saya, ada
beberapa kafe yang biasanya dimanfaatin mahasiswa untuk ngerjain tugas. Nggak
juga deng, ada pula yang emang suka minum kopi, ada yang rapat, ngumpul sama
temen-temen, menghabiskan waktu sama pacar, dan bahkan untuk cari latar atau
spot demi ke-rapi-an feed instagram. Salah
satu kafe yang suka adalah Teras Pandega. Kafe itu sederhana banget. Meja
kursinya dari kayu, nggak ada AC, penerangan secukupnya, dan harganya juga
sederhana. Bagi saya, di sana nggak ada spot khusus buat foto-foto karena emang
penerangan di sana kurang memadai. AC pun nggak ada, tapi saya nggak pernah
kegerahan kalo di sana. Sebagai penikmat teh tarik, teh tarik di sana agak beda
dari yang lain, dan saya suka. Kopi Aceh dengan susu pun jadi favorit saya belakangan
(meski dua gelasnya mampu membuat jantung saya berdebar lebih cepat dan asam
lambung).
Terlepas dari itu semua, yang paling membuat saya nyaman dan selalu
ingin kembali adalah suasananya yang seperti rumah. Teras Pandega cukup bagi
saya, tidak berlebih dan kekurangannya masih bisa dimaklumi.
Suasana rumah itu membawa ingatan
saya pada sebuah obrolan di kafe lain bersama seorang sahabat, Bagus namanya.
Kala itu kami sedang ngalur ngidul bahas project
besar saya di mana saya butuh bantuannya. Di antara ketidakteraturan
obrolan kami, sampailah pada cerita tentang konsep pikirnya tentang mendekati
perempuan.
Bagus ini tipe laki-laki yang
nggak takut untuk ngajak perempuan keluar dalam proses penjajakan. Berbeda dengan
cara pikir saya kala itu, saya kurang setuju kalo awal-awal saja sudah ngajak
jalan. Bagi saya (kala itu) ngajak jalan adalah level kesekian setelah yakin
bahwa perempuan itu akan jadi sebenar-benar target utama.
Namun Bagus memberikan saya
pandangan lain
Baginya, ngajak jalan ketika
pendekatan itu nggak masalah.
“Nggak bisa aku kalo pendekatan, ngobrol doang via chat. Sama aja dong
kayak nemu orang di tinder? Can we just be conventional? Kalo mau
deketin ya dateng ke rumahnya, ajak jalan, ngobrol beneran, bukan cuman lewat
dunia maya.”
“Pendekatan itu kayak mau beli
rumah. Banyak pertimbangannya. Masa iya ketika mau beli rumah kita cuman nanya
sama pemiliknya lewat chat? Ya kita
harus datang ke rumah itu, lihat langsung, cocok atau enggak.”
Kemudian saya nimpalin, “Jahat
dong udah ngajak jalan, terus kalo nggak cocok ditinggal?”
“Kembali lagi dengan proses
jual-beli rumah. Misal aku yang punya rumah, silakan kalo ada yang mau
lihat-lihat, mau datang, aku mengizinkan. Sama halnya dengan membeli rumah,
pemilik rumah pun mikir-mikir untuk memberikan rumahnya ke calon pembeli.
Pantes nggak ya rumahku ditinggali oleh orang ini, oleh orang itu?”
“Ketika suatu saat ada yang cocok
sama rumahku, aku nggak akan lalu memaksa dia untuk tinggal. Aku akan tetap
biarkan dia lihat-lihat rumah lain. Karena kalo nyaman dan semua yang dia
inginkan ada di rumahku, dia akan kembali.”
Obrolan dengan Bagus membuat saya
memiliki pandangan baru tentang proses pendekatan.
Dan lebih kurang saya setuju.
Pendekatan nggak bisa kalo melulu
via dunia maya, harus ada pertemuan yang nyata karena bagaimanapun juga, kita
akan hidup di dunia sesungguhnya bersama orang tersebut. Satu lagi poin penting
yang saya dapat, bahwa sejatinya kedua belah pihak sama-sama memiliki pilihan.
Pemilik rumah punya pilihan untuk tidak jadi
menjual rumahnya ke calon pembeli dan calon pembeli juga boleh untuk nggak
beli rumahnya. Memang terkesan transaksional.
Tetapi kembali lagi, bagi saya
sebelum ada sertifikat rumah yang ditandatangani, saya masih berhak mencari
rumah lain. Sebelum ada kesepakatan
untuk membangun komitmen, saya masih berhak untuk menimbang-nimbang pilihan
lain. Meski demikian, banyak hal yang perlu diperhatikan juga. Jangan kalo kamu
masih ragu dengan pilihan itu, kemudian kamu sudah memberinya bermacam-macam
harapan. Kalo kamu masih ragu dengan dirimu sendiri, jangan kemudian memberikan
janji-janji. Dan yang paling penting, kalo nggak niat dan cuman ingin main-main saja menurut saya sih nggak usah sekalian. Kasihan yang mau 'beli'.
Dalam hal ini, bagaimana cara
kita mengontrol perasaan pun harus diperhatikan. Bagaimana kita bisa
mengontrol perasaan ketika akhirnya ternyata proses pendekatan tidak berlanjut
pada jenjang yang lebih serius. Toh, itu kan fungsi pendekatan? Ngecek apakah
orang ini cocok atau enggak?
Bagi saya, mending gagal
pendekatan daripada gagal dalam menjalani hubungan yang sudah dibangun dengan
komitmen. Gagal dalam hubungan itu layaknya pergi bersama-sama dengan tujuan
yang udah disepakati, kemudian di tengah jalan saling meninggalkan. Lalu
bingung, harus pulang atau melanjutkan perjalanan sendiri. Kalo pendekatan kan
masih dalam proses ‘ni orang cocok dan mau nggak ya kuajak pergi?’
Bagaimana pun juga, satu hal yang
saya setuju banget dari Bagus adalah,
“..Aku nggak akan maksa dia untuk
menetap, aku persilakan untuk mencari pilihan lain. Karena kalo dia nyaman dan
merasa cocok, maka dia akan kembali ke rumahku.”
Dengan cara pandang ini maka orang yang akan mencari rumah yang cocok akan memilih karena rumah tersebut adalah sebenar-benar tujuan, bukan sekedar pilihan karena malas mencari yang lain atau sudah merasa tertahan di rumah itu.
Semangat untuk terus menulis cerita-ceritamu yg simple banget. "ketika kita merasa gak berguna bagi orang lain, yakini bahwa seseorang pasti butuh kita" if u ever expect that ur story never inspire somebody u should stop to think that kind of thought. Because from this simple blog. U inspire me jadi kepengen nulis.And get some pelajaran hidup. Teruslah menulis bianglala
ReplyDeleteTerima kasih banyak :) Senang bisa memberi kebaikan untuk kamu.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete