Bianglala dan Skripsi (1): Perpanjangan Tangan Tuhan bagian Satu

Sudah lama sekali ingin menulis tentang perjalanan saya menulis skripsi, akhirnya tergugah juga untuk ngetik ketika salah satu teman mengirim pesan pagi ini, "La, kapan nulis lagi?".

Tujuh bulan mengerjakan skripsi, Tuhan tidak hanya memberi saya pelajaran di dua halaman kesimpulan skripsi saya. Tuhan memberikan banyak sekali pelajaran yang luar biasa. Beberapanya akan saya tulis di blog saya.

Total halaman skripsi saya adalah sekitar 660 halaman (itu yang sudah direvisi agar tulisannya mengecil, aslinya mencapai nyaris 700 halaman). Karena memang dasarnya lemah, bolak balik dari kosan hingga tiga penjuru Yogya untuk mendatangi responden, mendengarkan mereka bercerita hingga total 17 jam, mengetik sebanyak 700 halaman, mencari diksi, merangkai kata agar membuahkan ratusan kalimat, mendengarkan 17 jam rekaman dan menyalinnya menjadi tulisan membuat saya kerap mengeluh bahkan menangis, Pernah suatu ketika, sepulangnya saya dari wawancara dengan responden (kala itu wawancara berlangsung selama 3,5 jam) perasaan saya jelek sekali. Bahkan kalo nggak salah saya sampe nangis. Padahal saya sedang nggak ada masalah apa-apa. Mungkin saya terlampau lelah dan mungkin juga emosi negatif responden ketransfer ke saya (Jadi bagi temen-temen yang mengeluhkan kenapa ke psikolog mahal padahal kerjaan psikolog cuman dengerin orang ngomong doang, saya yang cuman dengerin aja (nggak ngasih saran apa apa) capeknya bukan main, apalagi psikolog. Mendengarkan bukan hal mudah guys.)

Pengambilan data dengan metode wawancara berat bagi saya. Men-transkrip dan mengkoding data membutuhkan waktu sebulan bagi saya, Mengolah data dan melakukan pembahasan juga berat bagi saya. Karena bagi saya, setiap skripsi memiliki kesulitan dan keberatannya masing-masing. 

Bagi saya, pengambilan data hingga bab empat adalah yang terberat. Tapi bagi teman yang lain, bab dua itu berat. Ada yang bab satunya nggak kunjung disetujui sama dosen pembimbing, ada yang pengolahan data nya harus ngulang, ada yang begini dan begitu. Bagi saya pula, sangat nggak etis untuk bilang "Bab 2 lama amat sih?" "Ambil data aja kok ngulang?" "Dari dulu masih bab 4?" Karena menurut saya, kesulitan itu berbeda-beda tiap orang dan tiap prosesnya.

Tapi saya percaya, setiap kesulitan itu sepaket dengan kemudahan.

Dan Tuhan 'memanjangkan' Tangan-Nya untuk membantu perjalanan skripsi saya.

Kedua orangtua saya nggak pernah menekan saya untuk urusan skripsi. Nggak pernah memberi saya target tertentu, nggak pernah dengan rese nanyain kapan skripsi saya selesai. Karena hal-hal itu, saya malah jadi yang nggak enak, Rasanya pengen segera nyelesaiin agar orang tua saya tenang. Kala itu saya punya target sendiri untuk menyelesaikan skripsi bulan Maret, saya cerita sama ibu saya bahwa saya punya target demikian. Tapi ternyata rencana Tuhan lebih baik,

Sore itu ibu saya menelepon untuk sekedar nanya saya sedang apa. Kemudian dengan lugunya beliau tanya "Mbak, jadi sidang Maret?". Ibu saya bertanya demikian karena saya pernah menjajikan, jadi saya sama sekali nggak sebel ditanya seperti itu di kala saya sedang burned out sekali dengan rekaman-rekaman wawancara yang membuat kuping saya panas. Saya hanya bilang maaf karena nggak bisa menyelesaikan di bulan Maret. Ibu saya mengerti dan hampir tidak pernah menanyakan hal itu lagi.

Saya jadi merasa terbebani ketika orangtua saya mengerti keadaan saya. Saya merasa nggak enak dan ingin sekali memenuhi keinginan tak terucap mereka. Dari situ, saya ingin sekali wisuda bulan Mei. Secara logika, saya nggak mungkin bisa wisuda di bulan Mei. Awal April saya masih menulis bab empat padahal paling lambat pendaftaran wisuda untuk periode Mei adalah 26 April. Untuk nunggu waktu sidang perlu seminggu. Intinya nggak mungkin lah.

Suatu malam ketika saya masih stres banget nulis bab empat, Ibu saya telepon dan (akhirnya) tanya-tanya tentang skripsi saya. Akhirnya, saya berkeluh kesah bahwa saya ingin sekali wisuda bulan Mei tapi skripsi saya nggak kunjung selesai. Ibu saya menasihati di antara derai air mata saya, "Dikerjain aja pelan-pelan Mbak. Mama nggak mau kamu cepet selesai tapi stres kayak gitu. Sambil ngerjain sambil berdoa. Semuanya diserahin sama Allah." 

Nasihan yang sederhana. Tetapi membuat saya terpacu lagi.

Akhirnya saya berusaha secepat mungkin (tapi berusaha untuk nggak stres) untuk menyelesaikan skripsi saya. 

Sabtu, 15 April 2017 akhirnya saya menyelesaikan bab 1-5.
Saya kirim WA ke Bu Ani, pembimbing saya. Saya minta agar skripsi saya di-review dan hari Seninnya saya minta bertemu. 

Bu Ani ini adalah dosen pembimbing skripsi saya luar biasa. Beliau hampir selalu bisa kalau anak bimbingannya minta bertemu. Jika beliau tidak bisa di hari besok, beliau akan memberikan hari lain secepat mungkin. Beliau tidak pernah membuat saya menunggu lama. Paling lama, saya menunggu beliau itu sekitar 2,5 jam. Itupun karena saya terlambat. Biasanya, paling lama saya menunggu beliau sekitar setengah jam. 

Maka ketika beliau membalasa WA saya dan menyatakan bahwa seminggu ke depan beliau sibuk, saya cukup shock. Awalnya saya sedih sekali karena kemungkinan saya akan gagal untuk wisuda periode Mei karena seminggu ke depan Bu Ani sibuk (notabene beliau juga tidak punya waktu untuk menguji saya). Kemudian saya ingat potongan nasihan Ibu saya "...semuanya diserahin sama Allah.". 

Detik itu saya belajar ikhlas.
Saya ikhlas bahwa mungkin Allah belum mengizinkan saya untuk bertemu Bu Ani, belum mengizinkan untuk saya sidang secepatnya, belum mengizinkan saya untuk wisuda periode Mei. Namun di balik rasa ikhlas itu, saya masih saja menyelipkan doa agar Tuhan berbaik hati mengabulkan doa saya. 

Mungkin selama 22 tahun saya hidup, rasa ikhlas yang saya rasakan kala itu adalah sebenar-benar rasa ikhlas. Saya ikhlas bahwa- "ya sudah mau gimana lagi, Allah Tau yang terbaik." tapi saya diam-diam masih berdoa agar permintaan saya dikabulkan, Meski saya tau bahwa sepertinya nggak bisa, tapi saya berdoa dalam keadaan yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

Sepulangnya dari bermalam minggu, Bu Ani tiba-tiba mengirimkan saya pesan,
"Saya sudah skim, cek lagi tata tulis, usahakan tidak ada judul meski sub judul berada di bawah halaman."
"Lengkapi dari halaman depan seperti skripsi yang lainnya."

15 April 2017, 9.41 PM.
Akhirnya skripsi saya di-acc.

Keesokan paginya, saya mengedit skripsi saya. Bersamaan dengan itu, saya mulai menyiapkan syarat-syarat untuk mendaftar sidang.

Ternyata bikin daftar pustaka, halaman, dan perintilan lainnya nggak gampang. Beberapa kali saya merepotkan seorang teman, Hilda namanya. Ia yang juga sedang merevisi skripsinya, harus sabar membalas pertanyaan-pertanyaan saya via chat sampai pada akhirnya dia menawarkan untuk membantu saya. Mungkin kalau Hilda nggak bantu saya siang itu, skripsi saya nggak bakal selesai di Senin pagi. Sampai Senin pukul sembilanan pun saya masih ngutak atik banyak hal. Padahal jam sembilan janjian ketemu sama Bu Ani (iya, akhirnya beliau mau menyempatkan waktunya beberapa menit untuk menandatangani kartu bimbingan agar saya bisa verifikasi hari Senin).

Karena belum selesai, saya nekat ke kampus untuk minta tanda tangan Bu Ani (tanpa bawa skripsinya). Ketemu Bu Ani pun  di jalan menuju ruangannya, bukan di ruangannya. Setelah menandatangani dan mengobrol sebentar, Bu Ani bilang bahwa saya bisa sidang tanggal 26 karena hanya hari itu beliau sempat. Padahal tanggal 26 adalah hari terakhir pendaftaran wisuda. Saya mencoba ikhlas lagi. Ya sudah, berarti memang nggak sempat wisuda periode Mei.

Meski demikian, saya berusaha untuk daftar skripsi hari itu juga.

Setelah mendapat tanda tangan Bu Ani, saya ngebut untuk ngeprint (nyaris) 700 halaman skripsi saya. Nggak sebentar dan nggak sedikit (dan nggak murah huhu). Bawa dari fotokopian sampe ruangan mas Fuad bener-bener bikin tangan saya pegel. Setelah diverifikasi, saya ngeprint tiga bendel lagi untuk keperluan sidang (karena bendel yang tadi ada yang salah, saya nggak bisa pake untuk sidang). Karena di fotokopian tadi mahal, saya pindah tempat fotokopian.

dua bendel skripsi

Nah, saya sangat rekomen tempat fotokopian ini buat temen-temen.
Selain murah (banget), masnya baik dan sangat membantu. Tempatnya juga nyaman, ada AC dan wifinya. Namanya TRI EDI. Tempatnya di gang depan kehutanan (kalo tau bakso Pak Ateng, nah masuk gang situ). Lurus sebentar, nanti fotokopiannya di kiri jalan, warna merah, SANGAT SAYA REKOMENDASIKAN BUAT TEMAN-TEMAN YANG MAU NGEPRINT SKRIPSI DAN NGEPRINT LAINNYA. SIP SIP OKE!
mas baik hati

Ketika sedang ngeprint dan mulai sadar bahwa tiga rim itu banyak sekali, tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya,

"Lak?" 
"Hilda? Mau ngeprint apa?"
"Ini nih--" Kemudian dia ngelihatin print-print an saya. "Kamu sendiri ke sini?" Tanyanya.
"Iya. Mau ma siapa lagi?"
"Emang bisa bawa segini? Kemarin aku aja berdua."
"Eh, nggak bisa ya?"
"Ya udah nanti aku bantu ya."

Sambil-nggak-paham-lagi-sama-kebaikan-Tuhan-yang-tiba-tiba-mendatangkan-Hilda, saya melanjutkan pekerjaan saya. 

Lagi-lagi Tuhan memberikan pertolangan kecil tapi berarti bagi saya. Saat itu saya butuh tip x banget untuk menutupi identitas responden. Tempat fotokopian nggak punya, Hilda nggak punya, apalagi saya yang kalo kuliah modalnya bolpen hasil ngisi kuisioner. Tiba-tiba seorang mbak di pojokan menyodorkan tip x nya "Mbak, saya ada." 

:)

Akhirnya saya selesai ngeprint.
Mas fotokopian nanya, "ini mbak bawanya gimana?"
Saya jawab, "Nggak tau Mas. Hehe."
Lalu mas baik hati itu ke bagian belakang dan membawakan dus kertas, menata skripsi-skripsi saya sedemikian rupa, dan membantu saya serta Hilda untuk meletakkan dus itu di motor Hilda. Padahal masnya berwajah sangar kayak Mad Dog, tapi baiknya luar biasa.

Senin itu, alhamdulillah saya berhasil mendaftar skripsi.



2 comments: