Pulang dan Rumah (5): Memilih Rumah

Di sekitar kosan saya, ada beberapa kafe yang biasanya dimanfaatin mahasiswa untuk ngerjain tugas. Nggak juga deng, ada pula yang emang suka minum kopi, ada yang rapat, ngumpul sama temen-temen, menghabiskan waktu sama pacar, dan bahkan untuk cari latar atau spot demi ke-rapi-an feed instagram. Salah satu kafe yang suka adalah Teras Pandega. Kafe itu sederhana banget. Meja kursinya dari kayu, nggak ada AC, penerangan secukupnya, dan harganya juga sederhana. Bagi saya, di sana nggak ada spot khusus buat foto-foto karena emang penerangan di sana kurang memadai. AC pun nggak ada, tapi saya nggak pernah kegerahan kalo di sana. Sebagai penikmat teh tarik, teh tarik di sana agak beda dari yang lain, dan saya suka. Kopi Aceh dengan susu pun jadi favorit saya belakangan (meski dua gelasnya mampu membuat jantung saya berdebar lebih cepat dan asam lambung). 

Terlepas dari itu semua, yang paling membuat saya nyaman dan selalu ingin kembali adalah suasananya yang seperti rumah. Teras Pandega cukup bagi saya, tidak berlebih dan kekurangannya masih bisa dimaklumi.

Suasana rumah itu membawa ingatan saya pada sebuah obrolan di kafe lain bersama seorang sahabat, Bagus namanya. Kala itu kami sedang ngalur ngidul bahas project besar saya di mana saya butuh bantuannya. Di antara ketidakteraturan obrolan kami, sampailah pada cerita tentang konsep pikirnya tentang mendekati perempuan.

Bagus ini tipe laki-laki yang nggak takut untuk ngajak perempuan keluar dalam proses penjajakan. Berbeda dengan cara pikir saya kala itu, saya kurang setuju kalo awal-awal saja sudah ngajak jalan. Bagi saya (kala itu) ngajak jalan adalah level kesekian setelah yakin bahwa perempuan itu akan jadi sebenar-benar target utama.

Namun Bagus memberikan saya pandangan lain
Baginya, ngajak jalan ketika pendekatan itu nggak masalah.
“Nggak bisa aku kalo pendekatan, ngobrol doang via chat. Sama aja dong kayak nemu orang di tinder? Can we just be conventional? Kalo mau deketin ya dateng ke rumahnya, ajak jalan, ngobrol beneran, bukan cuman lewat dunia maya.”

“Pendekatan itu kayak mau beli rumah. Banyak pertimbangannya. Masa iya ketika mau beli rumah kita cuman nanya sama pemiliknya lewat chat? Ya kita harus datang ke rumah itu, lihat langsung, cocok atau enggak.”

Kemudian saya nimpalin, “Jahat dong udah ngajak jalan, terus kalo nggak cocok ditinggal?”

“Kembali lagi dengan proses jual-beli rumah. Misal aku yang punya rumah, silakan kalo ada yang mau lihat-lihat, mau datang, aku mengizinkan. Sama halnya dengan membeli rumah, pemilik rumah pun mikir-mikir untuk memberikan rumahnya ke calon pembeli. Pantes nggak ya rumahku ditinggali oleh orang ini, oleh orang itu?”

“Ketika suatu saat ada yang cocok sama rumahku, aku nggak akan lalu memaksa dia untuk tinggal. Aku akan tetap biarkan dia lihat-lihat rumah lain. Karena kalo nyaman dan semua yang dia inginkan ada di rumahku, dia akan kembali.”

Obrolan dengan Bagus membuat saya memiliki pandangan baru tentang proses pendekatan.
Dan lebih kurang saya setuju.
Pendekatan nggak bisa kalo melulu via dunia maya, harus ada pertemuan yang nyata karena bagaimanapun juga, kita akan hidup di dunia sesungguhnya bersama orang tersebut. Satu lagi poin penting yang saya dapat, bahwa sejatinya kedua belah pihak sama-sama memiliki pilihan. Pemilik rumah punya pilihan untuk tidak jadi menjual rumahnya ke calon pembeli dan calon pembeli juga boleh untuk nggak beli rumahnya. Memang terkesan transaksional.

Tetapi kembali lagi, bagi saya sebelum ada sertifikat rumah yang ditandatangani, saya masih berhak mencari rumah lain.  Sebelum ada kesepakatan untuk membangun komitmen, saya masih berhak untuk menimbang-nimbang pilihan lain. Meski demikian, banyak hal yang perlu diperhatikan juga. Jangan kalo kamu masih ragu dengan pilihan itu, kemudian kamu sudah memberinya bermacam-macam harapan. Kalo kamu masih ragu dengan dirimu sendiri, jangan kemudian memberikan janji-janji. Dan yang paling penting, kalo nggak niat dan cuman ingin main-main saja menurut saya sih nggak usah sekalian. Kasihan yang mau 'beli'.

Dalam hal ini, bagaimana cara kita mengontrol perasaan pun harus diperhatikan. Bagaimana kita bisa mengontrol perasaan ketika akhirnya ternyata proses pendekatan tidak berlanjut pada jenjang yang lebih serius. Toh, itu kan fungsi pendekatan? Ngecek apakah orang ini cocok atau enggak?

Bagi saya, mending gagal pendekatan daripada gagal dalam menjalani hubungan yang sudah dibangun dengan komitmen. Gagal dalam hubungan itu layaknya pergi bersama-sama dengan tujuan yang udah disepakati, kemudian di tengah jalan saling meninggalkan. Lalu bingung, harus pulang atau melanjutkan perjalanan sendiri. Kalo pendekatan kan masih dalam proses ‘ni orang cocok dan mau nggak ya kuajak pergi?’

Bagaimana pun juga, satu hal yang saya setuju banget dari Bagus adalah,
“..Aku nggak akan maksa dia untuk menetap, aku persilakan untuk mencari pilihan lain. Karena kalo dia nyaman dan merasa cocok, maka dia akan kembali ke rumahku.” 

Dengan cara pandang ini maka orang yang akan mencari rumah yang cocok akan memilih karena rumah tersebut adalah sebenar-benar tujuan, bukan sekedar pilihan karena malas mencari yang lain atau sudah merasa tertahan di rumah itu. 


4 comments:

  1. Semangat untuk terus menulis cerita-ceritamu yg simple banget. "ketika kita merasa gak berguna bagi orang lain, yakini bahwa seseorang pasti butuh kita" if u ever expect that ur story never inspire somebody u should stop to think that kind of thought. Because from this simple blog. U inspire me jadi kepengen nulis.And get some pelajaran hidup. Teruslah menulis bianglala

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak :) Senang bisa memberi kebaikan untuk kamu.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete