Menikah: Happily Ever After?

"Beberapa waktu yang lalu aku sempet takut nikah.."

Kataku siang itu, di depan seorang sahabat yang sebentar lagi akan jadi istri orang. Sebelum ia menjawab, aku jadi ingat, bahwa sekitar dua hingga tiga tahun yang lalu, aku, adalah perempuan yang sangat menginginkan pernikahan karena aku capek dengan banyaknya tugas perkuliahan.

Dan detik ini, aku, perempuan yang pernah sangat ingin menikah dan pernah takut untuk menikah, kembali ingin menikah. Tapi dengan pikiran yang lebih rasional.

Di awal perkuliahan S1, aku sangat ingin menikah.
Membayangkan seorang laki-laki yang dengan sangat gentle menembung ke orangtuaku bahwa ia mencintaiku, kemudian kami menikah, dan hidup bahagia selamanya tanpa tugas-tugas kuliah apalagi tugas-tugas organisasi dan event. dah pokoknya yang enak dan membahagiakan akan terjadi setelah aku menikah. Begitu pikirku kala itu.

Hingga akhirnya, hidup memberi banyak pelajaran.
Begitu juga dengan buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian. 
Tapi baiklah, sebelum kita berkutat dengan teori-teori dan hasil-hasil penelitian, mari aku ajak kalian mundur ke saat aku menjadi asisten kelas Gangguan Mental.

Kala itu, setelah selesai mempresentasikan berbagai macam jenis gangguan mental. Bu Bo, menanyakan satu hal kepada kami, yang kurang lebih seperti ini:
"Kalau dilihat dari gangguan-gangguan tersebut, biasanya orang mulai mengalami gangguan karena adanya permasalahan sejak kapan?"

Nyaris serempak, seisi kelas menjawab "sejak anak-anak

Iya, sejak anak-anak. 
Padahal lingkungan anak-anak itu cenderung berkutat pada keluarga.
Jadi, memang iya. Orang-orang dengan gangguan mental kebanyakan penyebabnya ada di dalam keluarga.

Mudahnya begini saja,
Sebuah contoh; Ada orang yang nggak mudah mengutarakan perasaannya, akhirnya dia banyak menekan perasaannya atau mengabaikan. Ia bersikap demikian karena kultur di keluarganya yang kurang terbuka dengan mengutarakan dan menerima perasaan, apalagi yang negatif. (Apalagi) mereka yang laki-laki cenderung mengabaikan dan menekan perasaan negatif seperti sedih karena kultur melahirkan 'laki-laki nggak boleh nangis atau sedih'. Padahal laki-laki juga manusia, yang juga dikaruniai Tuhan perasaan sedih. Nah perasaan-perasaan yang banyak diabaikan ini bisa jadi bom waktu di kemudian hari jika nggak segera diselesaikan.

Kembali lagi ke bahasan kita di awal tentang pernikahan--
Akhirnya beberapa waktu kemudian setelah menjadi asisten, aku berkutat dengan buku-buku tentang keluarga dan pernikahan, juga jurnal-jurnal penelitian karena skripsiku bertema tentang pernikahan dan keluarga. Penelitian menyebutkan, perceraian sudah menjadi sesuatu yang 'biasa'. Oke, anggaplah aku mengambil literasi dari barat, tapi nggak menutup kemungkinan di Indonesia juga demikian. Meski aku yakin, pasangan-pasangan di Indonesia cenderung mampu mempertahankan komitmen, apapun motivasinya.

Ditambah ketika saat itu aku sedang patah hati, jadilah aku cukup takut untuk menikah. Apakah ada orang yang akan saling mencintai--tanpa bosan--tanpa saling menyakiti--untuk waktu selamanya?

"Memang kenapa kamu takut nikah?" 
"Banyak masalah kayaknya. Aku ngerjain skripsi tu, takut-takut gitu, karena tau masalah pernikahan dan keluarga macem-macem." 
"La, orang yang nggak nikah aja punya masalah."

Sederhana dan klise.
Orang yang nggak menikah pun juga punya masalah.

Kemudian aku melanjutkan kuliah dan menemukan kasus-kasus lainnya (khususnya tentang pernikahan dan keluarga). Beberapa orang yang kutemui, masalahnya berasal dari keluarga, dari orangtua. Orangtua yang bertengkar, orangtua yang bercerai, orangtua yang begini dan begitu. Seorang yang kutemui shock dan trauma karena melihat orangtuanya bertengkar, seorang yang lain juga demikian karena orangtuanya bercerai. Dan yang lain sebagainya--bermasalah karena melihat apa yang terjadi dengan orangtua dan keluarga.

Iya, aku takut.
Aku takut kalau tidak bisa membina keluarga dengan baik dan berdampak kepada anak-anakku.
Kemudian aku mikir, bukannya pertengkaran itu seharusnya biasa? Memperdebatkan hal kecil bukannya biasa? Namanya juga ada dua kepala dengan dua pengalaman yang berbeda, pastilah beda cara pikirnya, tapi kenapa ya kalo lihat orangtua berdebat atau bertengkar meski karena hal kecil kita jadi shock?

Iya, ada yang pernah mikir demikian?

Menurutku, pernikahan itu menyatukan dua kepala, dua hati, dua kebiasaan dalam satu rumah, dalam satu kesatuan. Susah? Pasti. Maka perdebatan dan pertengkaran seharusnya bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan, meski seharusnya kita menghindari. Toh di teori psikologi sosial juga ada, namanya storming, sebagai salah satu fase pembentukkan kelompok. Tapi kenapa kita terkejut dan bisa shock jika melihat orangtua kita bertengkar?

Mungkin itu karena kisah-kisah membahagiakan tentang pernikahan yang sejak dulu kita nikmati. Dari Cinderella hingga Ande-Ande Lumut. Yang kebanyakan tentang perjuangan seorang perempuan melawan hidupnya yang sungguh menyusahkan kemudian menikah dengan laki-laki atau pangeran dari keluarga kaya, kemudian cerita berhenti di hari resepsi pernikahan. Membahagiakan? Pasti. Tapi kalau cerita dilanjutkan sampai mereka kakek-nenek? Pasti nggak mudah.

Mungkin itu.
Mungkin karena sejak kecil yang kita tahu bahwa menikah adalah gerbang menuju kebahagiaan yang abadi. Kalau sudah menikah semuanya jadi membahagiakan karena ada pasangan yang mencintaiku, akan melakukan apapun untukku, membantuku, mengertiku, dan lain sebagainya.
Padahal menikah itu adalah fase kehidupan.
Sama seperti anak SMA yang pengen banget kuliah di UGM contohnya, dia mikir 'wah kalo udah kuliah di UGM aku pasti seneng banget, semangat, bahagia.' Tapi ternyata sesampainya di ruang kelas, dia harus menghadapi fase hidup yang baru dan lebih menantang.

Sama seperti menikah,
Kita terlalu berekspektasi bahwa menikah adalah kebahagiaan yang di mana nggak ada kesedihan dan kesusahan di sana. Padahal untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya ya kita harus berjuang. Apalagi kita menikah.
Menikah yang adalah sunah Rasul.
Menikah yang merupakan separuh agama.
Menikah itu ibadah.
Ya pantes kalau cobaannya berat, orang pahalanya surga. 

Makanya dengan segala keberatan itu, kita harus bersiap-siap sebaik-baiknya.
Menyiapkan diri, memperbaiki diri, menguatkan diri.
Sama seperti anak SMA yang bisa kuliah di UGM tadi, dia menempa dirinya dengan belajar untuk SBMPTN, belajar dengan rutin, agar nanti waktu kuliah, dia nggak kaget dengan dunia perkuliahan yang banyak  tugas.

Ya, mending kita memperbaiki diri dulu.
Belajar bangun pagi dan nggak tidur setelah subuh, belajar on time, belajar komunikasi agar lebih asertif, belajar manajemen konflik, belajar dengan maksimal, belajar agama, meningkatkan ibadah, melawan nafsu, belajar mengasuh anak, dan lain-lain sebagainya.

Nanti, kalau Allah sudah yakin bahwa kita siap, kita akan menikah di waktu yang tepat. Karena Allah yang paling tahu, kapan waktu yang tepat saat kita sudah siap.

"Menikah itu ibadah yang juga ada waktunya. Sama seperti puasa Ramadhan. Waktunya ya di bulan Ramadhan. Kenapa harus buru-buru puasa kalau belum bulan Ramadhan?" - Sebuah artikel yang saya lupa banget baca di mana hhhh :(

Instead of, kita bergalau-galau karena belum juga menikah. Belum ada pasangan.
Ayolah, kita ini kuat. Nggak punya pasangan bukan berarti kita sendirian.
Ada Allah yang 24 jam menjaga dan menemani kita.
Yang membantu kita.
Yang mencintai kita.

Jadi, menikah itu memang bukan gerbang menuju kebahagiaan yang berarti nggak ada masalah sama sekali. Ekspektasi kita harus diubah, agar kita nggak kecewa kalau ada konflik. Menikah itu lorong yang panjaaaang sekali, untuk menuju kebahagiaan yang sebenar-benarnya--surga.

Menikah itu memang pasti membahagiakan, literatur pun sudah mengakui bahwa menikah akan memberi banyak dampak yang positif daripada mereka yang tidak menikah, tapi pasti ada cobaan. Yang bisa kita lakukan adalah bersama-sama dengan pasangan kita, membentuk tim yang kuat dan kompak, agar seperti apapun badai menerjang, kita tetap berdiri dan berjalan menuju level selanjutnya.

Perspektif strength family tidak mengabaikan permasalahan pada keluarga namun lebih berfokus pada masalah merupakan media untuk menguji ketahanan pada keluarga dan lebih fokus pada bagaimana keluarga menghadapi kesulitan yang terjadi pada keluarga mereka (DeFrain & Asay, 2008) yang nantinya akan membuat pernikahan menjadi lebih baik (Olson, dkk., 2011). Pernikahan dan keluarga yang kuat akan lebih mampu untuk menghadapi masa-masa sulit dibanding mereka yang tidak kuat (Olson, dkk., 2011). -- diambil dari skripsi saya sendiri.

5 comments:

  1. Setelah baca tulisan Mbak Lala dan nonton drama "Because This is My First Life", aku jadi punya banyak perspektif tentang pernikahan. Thanks!

    ReplyDelete
  2. Bukankah psikologi bidang yang cukup mumpuni dalam mendidik anak.

    Ya kembali luruskan niat untuk beribadah, karena nikah ibadah maka perlu disegerakan, jangan sampai telat, dan libatkan Allah dalam setiap prosesnya.

    ReplyDelete
  3. Terimakasih kak, sangat bermanfaat sekali, btw aku selalu nyempetin mampir ke blog Kaka, semangat terus yaa menulisnya, mudah-mudahan jadi amal jariyah yang tidak terputus. Aamiin

    ReplyDelete