Kisah Pertama dari Ruang Kelas Magister Psikologi Profesi Klinis

14 Agustus 2017 silam Tuhan mengizinkan saya untuk belajar lagi tentang psikologi di magister profesi bidang klinis Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Memang untuk menjadi psikolog, kami harus melanjutkan kuliah selama kurang lebih (semoga kurang dan tidak lebih) 2,5 tahun.

Dari sekitar 180 orang yang melalui seleksi magister profesi bidang klinis, terpilih 34 orang penghuni ruangan D-304. Selain bersyukur luar biasa, saya merasa cukup heran mengapa saya bisa menjadi satu dari 34 orang-orang hebat ini. Nggak cuman heran sih, saya (kadang) merasa menjadi yang terbodoh dan ter-tidak berpengalaman di kelas.

Teman saya ada yang pernah kuliah di Eropa, banyak yang pernah bekerja, banyak yang pernah menjadi asisten psikolog, banyak yang pernah menjadi trainer, banyak yang skripsinya sangar, banyak yang hobi penelitian, ada yang pinter SPSS sampai buka jasa, ada yang dapet beasiswa, ada yang udah nikah dan punya anak, banyak yang tahun depan udah mau nikah, ada yang follower Instagramnya ribuan, dan lain sebagainya.

Dan saya di sini cuman anak kemarin sore abis wisuda lalu buru-buru kuliah S2 tanpa pengalaman di bidang Psikologi yang bisa diandalkan.

---

Kuliah di bidang Klinis ini sungguh menyenangkan bagi saya. Kami belajar berbagai macam pendekatan untuk melakukan asesmen dan intervensi. Yang lebih menyenangkan adalah kami berperan menjadi psikolog dan klien di berbagai pendekatan itu. Yang lebih lebih menyenangkan dan sekaligus menantang, dari awal kami berkomitmen untuk saling membuka diri, membuka masalah kami, membuka keresahan kami untuk bisa dijadikan bahan pembelajaran. Kami juga berkomitmen untuk sama-sama melupakan permasalahan itu saat kami sudah keluar dari kelas.

Katanya sih, membuka diri itu rasanya enak sekali.
Tapi ternyata berat luar biasa.

Saat itu kami belajar tentang teknik observasi dan wawancara dengan pendekatan Humanistik. Setelah belajar teori-teori yang-rasanya-udah-nggak-sabar-dipraktikin, kami dikelompokan menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan tiga orang. Satu menjadi 'psikolog', satu menjadi 'klien', dan satunya lagi menjadi observer. Posisi itu akan berputar setelah satu kasus selesai di-observasi dan wawancara. Jadi, yang tadinya menjadi psikolog kemudian menjadi klien, yang tadinya menjadi klien lalu menjadi observer, yang tadinya menjadi observer kemudian menjadi psikolog, begitu seterusnya hingga masing-masing kami merasakan tiga peran.

Selama kurang lebih setengah jam, kelas kami penuh air mata.

Termasuk klien saya saat saya menjadi psikolog.

Termasuk saya (pada akhirnya) ketika Bu Sofi (dosen saya) memegang punggung saya dengan lembut.

Kelas siang itu menjadi kelas pertama di mana kami berani membuka diri pelan-pelan kepada orang-orang yang baru kami kenal dan sungguh membuka diri itu tidak mudah. Beberapa teman mengaku mengalami sakit fisik pada malamnya. Bu Sofi pun berkata demikian 'jangan heran kalau nanti malam rasanya capek atau malah sakit, karena membuka diri itu memang berat. tetapi kalau sudah membuka itu rasanya enak sekali.'

---

Apa hubungan dua kisah yang saya ceritakan?

---

Setelah saling membuka diri, kecemasan, dan permasalahan, saya menjadi sadar bahwa semua orang sejatinya punya masalah dan kecemasan.

Yang pernah kuliah di Eropa punya masalah, yang pernah bekerja punya masalah,  yang pernah menjadi asisten psikolog punya masalah, yang pernah menjadi trainer punya masalah, yang skripsinya sangar punya masalah, yang hobi penelitian punya masalah, yang pinter SPSS sampai buka jasa punya masalah, yang dapet beasiswa punya masalah, yang udah berkeluarga punya masalah, yang tahun depan udah mau nikah punya masalah, yang follower Instagramnya ribuan punya masalah, dan seterusnya dan seterusnya.

Bahkan saya kagum sama mereka yang luar biasa kuat dalam menanggung masalah dan keresehan tersebut. Sampai saya berpikir mungkin saya nggak akan kuat kalau saya lah yang diamanahi masalah dan keresehana tersebut.

Akhirnya saya meyakini bahwa kami ini sama saja. Sama-sama orang yang sedang sama-sama berjuang melawan masalah dan keresahan kami masing-masing. Sama-sama diamanahi Tuhan masalah yang sudah 'dihitung' kadarnya hingga sesuai untuk kami dan bisa kami maknai sebagai satu fase dalam hidup kami.

Saya mungkin memang belum berpengalaman banyak dalam bidang psikologi, belum berkeluarga, nggak suka penelitian, belum pernah kuliah di luar negeri, tapi saya berhasil melalui hidup saya, memaknainya, dan belajar dari masalah-masalah yang Tuhan amanahi kepada saya.

Jadi, saya nggak boleh merasa terbego di kelas lagi.
Karena Tuhan dan Semesta sudah adil dalam membagi jalan hidup bagi masing-masing kita.

---

"Kamu yakin kamu sehat?"
"Selama saya bisa bangkit dari keterpurukan, memaknai masalah saya, dan belajar darinya, saya merasa diri saya sehat, Pak."

- dalam wawancara seleksi magister profesi bidang Klinis beberapa waktu silam.

No comments:

Post a Comment