Melawan Kesedihan

Memang sudah berulang kali saya bercerita bahwa saya sedang melakukan penelitian untuk skripsi saya yang bertema tentang komitmen pernikahan suami yang memiliki istri survivor kanker. Dan berulang kali pula saya mendapat insight sebagai bahan tulisan saya (Saya sudah meminta izin kepada responden saya untuk menuliskan kisahnya di media sosial dan beliau mengizinkan).

Dalam sebuah wawancara, responden saya bercerita tentang kronologi sang istri yang menderita kanker. Beliau menjelaskan bahwa kali pertama mendapat kabar buruk bahwa istrinya menderita kanker adalah sekitar Bulan Maret 2016. Kemudian otomatis otak saya ini me-rewind apa yang saya alami di bulan dan tahun yang sama.

Di Bulan Maret 2016, saya sedang berbahagia.
Sebaliknya, di saat itu responden saya dan istrinya mendapat kabar yang tidak pernah mereka harapkan.

Kemudian saya berpikir.
Ketika saya sedang berbahagia, di belahan bumi lain mungkin ada orang yang bersedih.
Ketika saya bersedih, di belahan bumi lain mungkin ada orang yang lebih berhak bersedih.
Maka ketika saya berbahagia, nggak sepatutnya saya berbahagia berlebihan karena entah di sana mungkin ada banyak orang yang kehilangan kebahagiaan mereka. Juga ketika saya bersedih, nggak sepatutnya saya bersedih berlebihan karena di seberang sana ada banyak mereka yang lebih patut bersedih dan mereka sedang berjuang melawan kesedihannya.

Bersedih sama sekali nggak salah.
Yang salah adalah ketika tenggelam dalam kesedihan dan merasa nggak sanggup untuk berenang ke tepian.

2 comments: