Kalau bukan karena tugas yang harus segera saya selesaikan, secangkir kopi Lombok tidak akan ada di meja belajar saya malam ini. Demi melek hingga entah kapan, saya rela menyeduh dua sendok makan kopi Lombok dan satu sendok gula pasir beberapa menit yang lalu.
Ngomong-ngomong kopi, saya jadi ingat sekitar setahun lalu seorang teman mengajak saya ke semacam kafe kopi di Jalan Kaliurang KM 8. "Ini kopi beneran lho. Buat yang belum pernah, mungkin bisa coba yang ringan." Katanya di grup ketika ia mengajak kami ke sana. Saya penasaran sekali, memangnya ada kopi yang nggak beneran? Sejurus kemudian, berbekal ancer-ancer dan bertemu dengan kang parkir yang menyeramkan, sampailah saya di sana. Namanya Klinik Kopi. Kalau kamu bayangkan tempatnya catchy seperti kafe kekinian, kamu salah. Kalau kamu bayangkan tempatnya instagramable, kamu salah. Kalau kamu bayangkan kopi yang dijual adalah kopi ala-ala, kamu salah.
Tempatnya masuk gang gelap, kafe itu gelap, seingat saya hanya ada tempat duduk lesehan, bukan kursi mahal yang dibeli di Informa atau ACE Hardware apalagi IKEA (Saya pernah ke kafe kopi yang tirainya bermerk IKEA). Kalau kamu pernah nonton AADC 2, nah ada scene yang bertempat di sana. Seingat saya, Cinta dan Rangga pernah ngopi di sana.
Di Klinik Kopi, saya benar-benar mencoba kopi sebenar-benarnya kopi. Ada tulisan "no cream, no milk, no sugar" di meja barista. Tidak ada buku menu, yang ada adalah barista yang menawarkan berbagai jenis kopi nusantara sambil menjelaskan bagaimana ia bisa menemukan kopi tersebut.
Akhirnya terjawablah apa itu 'kopi beneran' ketika saya menyereput kopi dalam gelas kaca yang saya pesan. Mulai saat itu saya tahu bahwa sebenar-benar kopi adalah yang saya minum di Klinik Kopi. Tanpa gula, tanpa susu, tanpa krim. dan tanpa spot catchy untuk feed instagram, juga tanpa koneksi wifi. Asli dan murni. Tanpa distraktor apapun. Kopi itu juga harus segera diminum, karena jika temperaturnya turun, maka rasanya akan asam.
Akhirnya saya sadar, saya yang selama ini ngaku suka kopi, ternyata nggak suka kopi.
Kalau disuruh milih antara kopi dan teh, saya akan milih teh. Sama-sama nggak pakai gula, tapi saya lebih milih teh. Kalau diajak ke starbucks atau chatime, saya akan milih chatime (walau chatime adalah teh yang terdistraksi juga sih). Bahkan seminggu lalu ketika saya ke kafe di jalan Palagan, saya pesen milk tea.
Ternyata selama ini yang saya suka dari 'kopi' adalah susu atau krim atau gulanya. Saya memang suka pahit, tapi kalau sepahit kopi di Klinik Kopi, saya tidak suka. Mungkin bagi pecinta sebenar-benar kopi akan merasa tersinggung kalau saya ngaku suka kopi padahal yang saya suka adalah kopi dengan banyak distraktor. Yang pada akhirnya mengurangi atau malah menghilangkan esensi pahit dari kopi itu sendiri.
Kemudian saya sadar.
Kadang kita ngaku suka atau cinta sesuatu. Tapi ternyata yang kita suka bukan hal esensial dari sesuatu itu. Yang membuat kita tertarik bukan hal inti dari sesuatu itu. Yang membuat kita tergila-gila malah hal lain yang membuat sesuatu itu tidak asli dan autentik lagi.
Banyak yang ngaku suka kopi, tapi lebih suka kopi dengan banyak distraktor.
Banyak yang suka ke kafe kopi, bukan untuk menikmati kopi tapi untuk materi update (nah kalo ini saya juga pernah).
No comments:
Post a Comment