Ngomong-ngomong natal, ketika nenek dari ayah saya masih hidup, ketika ia masih sanggup pergi ke gereja, sepulang dari kebaktian malam natal ia membawakan kami oleh-oleh dari gereja. Yang masih saya ingat ya kue atau souvenir semacam handuk warna warni. Itu yang membuat saya semakin merasa senang berada dalam suasana natal meski saya tidak merayakannya sama sekali.
Nenek saya seorang kristen. Ia tinggal bersama keluarga kecil kami.
Tidak hanya nenek saya, keluarga pakde saya pun juga beragama kristen. Tetangga terdekat keluarga saya juga seorang kristen dan beliau seorang tionghoa. Setiap hari Minggu pukul delapan, ketika saya dan adik saya masih menonton doraemon, nenek saya sudah rapi dengan tas tangan dan injilnya. Ia berangkat ke gereja bersama Om Yonathan dan keluarganya, tetangga terdekat keluarga saya. Tidak hanya Om Yonathan yang kerap mengantar nenek saya ke gereja. Dulu ketika gereja nenek saya berada di sekitar rumah Oma saya, Oma saya lah yang mengantar nenek saya ke gereja. Oma saya (nenek dari ibu) seorang muslim taat yang tiap pekan datang ke pengajian meski harus berjalan kaki. Tapi beliau tidak masalah mengantarkan nenek saya ke GKJ. Ketika akhirnya Om Yonathan pindah rumah, maka 'tugas' mengantar ke gereja pindah ke ayah saya.
Ketika Om Yonathan dan keluarganya pindah rumah, kami pikir kebiasaan Om Yonathan mendatangi keluarga kami saat lebaran pun juga akan berakhir. Tetapi ternyata kami salah. Ketika lebaran, Om Yonathan masih bersilaturahmi ke rumah kami. Bukan untuk maaf-maafan, tetapi untuk sekedar bersua dan bercengkrama. Apakah keluarga saya juga demikian ketika natal? Iya. Beberapa kali ketika natal, keluarga kami datang ke rumah Om Yonathan meski sekarang sudah agak jarang karena ketika natal keluarga Om Yonathan biasanya pergi keluar kota. Tanpa mengucapkan selamat natal, keluarga Om Yonathan sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Untuk bersilaturahmi.
Sejak kecil saya terbiasa dengan kultur seperti itu.
Al Quran dan Injil berada di bawah satu atap rumah kami. Ketika nenek saya berlutut melakukan doa pagi, kami bersujud melakukan solat subuh. Ketika hari raya idul fitri, kami sungkem kepada nenek meski ia tidak merayakan idul fitri. Ketika natal, nenek saya membawakan oleh-oleh dari gereja seusai kebaktian. Waktu kecil, nenek saya lah yang mengantarkan saya ke TPA untuk mengaji setiap sore meski dengan langkah tertatihnya. Ketika nenek saya meninggal, kami membacakannya surat Yasin meski salib diletakkan di dekat peti jenazah nenek kami.
Saya merasa beruntung hidup di keluarga yang beragam.
Meski di dalam rumah kami mayoritas muslim, kami tidak pernah menghalangi nenek kami untuk berucap syukur kepada Tuhan dengan caranya. Kami tidak pernah menyuruh atau bahkan memaksa nenek kami untuk kembali beragama islam. Saya tidak perlu belajar toleransi, karena sejak kecil saya sudah melakukannya.
Karena keterbatasan ilmu, saya tidak tahu bagaimana cara toleransi yang dianggap Tuhan paling benar. Tapi saya yakin bahwa Tuhan dan agama saya mengajarkan kebaikan, tidak ada ajaran di agama saya yang memaksa seseorang untuk mengimani agama saya, bahkan Rasulullah saja tidak memaksa pamannya untuk beragama islam. Yang saya pegang teguh adalah lakum dii nukum wa liya diin. Untukku agamaku, dan untukmu agamamu.
Dan bagi saya itu cukup.
Tidak hanya nenek saya, keluarga pakde saya pun juga beragama kristen. Tetangga terdekat keluarga saya juga seorang kristen dan beliau seorang tionghoa. Setiap hari Minggu pukul delapan, ketika saya dan adik saya masih menonton doraemon, nenek saya sudah rapi dengan tas tangan dan injilnya. Ia berangkat ke gereja bersama Om Yonathan dan keluarganya, tetangga terdekat keluarga saya. Tidak hanya Om Yonathan yang kerap mengantar nenek saya ke gereja. Dulu ketika gereja nenek saya berada di sekitar rumah Oma saya, Oma saya lah yang mengantar nenek saya ke gereja. Oma saya (nenek dari ibu) seorang muslim taat yang tiap pekan datang ke pengajian meski harus berjalan kaki. Tapi beliau tidak masalah mengantarkan nenek saya ke GKJ. Ketika akhirnya Om Yonathan pindah rumah, maka 'tugas' mengantar ke gereja pindah ke ayah saya.
Ketika Om Yonathan dan keluarganya pindah rumah, kami pikir kebiasaan Om Yonathan mendatangi keluarga kami saat lebaran pun juga akan berakhir. Tetapi ternyata kami salah. Ketika lebaran, Om Yonathan masih bersilaturahmi ke rumah kami. Bukan untuk maaf-maafan, tetapi untuk sekedar bersua dan bercengkrama. Apakah keluarga saya juga demikian ketika natal? Iya. Beberapa kali ketika natal, keluarga kami datang ke rumah Om Yonathan meski sekarang sudah agak jarang karena ketika natal keluarga Om Yonathan biasanya pergi keluar kota. Tanpa mengucapkan selamat natal, keluarga Om Yonathan sudah mengetahui maksud kedatangan kami. Untuk bersilaturahmi.
Sejak kecil saya terbiasa dengan kultur seperti itu.
Al Quran dan Injil berada di bawah satu atap rumah kami. Ketika nenek saya berlutut melakukan doa pagi, kami bersujud melakukan solat subuh. Ketika hari raya idul fitri, kami sungkem kepada nenek meski ia tidak merayakan idul fitri. Ketika natal, nenek saya membawakan oleh-oleh dari gereja seusai kebaktian. Waktu kecil, nenek saya lah yang mengantarkan saya ke TPA untuk mengaji setiap sore meski dengan langkah tertatihnya. Ketika nenek saya meninggal, kami membacakannya surat Yasin meski salib diletakkan di dekat peti jenazah nenek kami.
Saya merasa beruntung hidup di keluarga yang beragam.
Meski di dalam rumah kami mayoritas muslim, kami tidak pernah menghalangi nenek kami untuk berucap syukur kepada Tuhan dengan caranya. Kami tidak pernah menyuruh atau bahkan memaksa nenek kami untuk kembali beragama islam. Saya tidak perlu belajar toleransi, karena sejak kecil saya sudah melakukannya.
Karena keterbatasan ilmu, saya tidak tahu bagaimana cara toleransi yang dianggap Tuhan paling benar. Tapi saya yakin bahwa Tuhan dan agama saya mengajarkan kebaikan, tidak ada ajaran di agama saya yang memaksa seseorang untuk mengimani agama saya, bahkan Rasulullah saja tidak memaksa pamannya untuk beragama islam. Yang saya pegang teguh adalah lakum dii nukum wa liya diin. Untukku agamaku, dan untukmu agamamu.
Dan bagi saya itu cukup.
No comments:
Post a Comment