Pulang dan Rumah (1)

"I bought her a house, she gives me a home." - Pandji Pragiwaksono
I love that quote so. Even my sister told me that is not Pandji actually who said that but whatever, I love that quote. I agree af. 

Saya lagi suka membahas sesuatu tentang rumah dan pulang. Terlihat dari tiga (mungkin) tulisan saya tentang itu. Bagi saya, rumah tidak lagi perihal dinding dan lantai. It's not about the building itself. It's about a home, what home give for you.

Saya suka berada di rumah. Di sana saya bisa bebas melakukan apapun yang saya suka. Saya bisa pake kaos oblong saja, rambut bisa berantakan, bisa nggak mandi seharian, nggak dandan, nggak berpenampilan rapi, tanpa takut orang di sekitar saya mengomentari. Di rumah saya merasa nyaman menjadi berantakan. Di rumah saya merasa menjadi diri saya sendiri. Di rumah saya merasa diterima.

Kemudian saya jadi ingat seorang sahabat saya. Setiap saya  curhat ke dia, saya selalu bawaannya marah-marah. Sampai saya bertanya "kenapa sih kalo cerita ma kamu aku pengennya marah-marah?" You know like all of your negative energy akhirnya tersalurkan. Sometimes you need that instead of crying. Sama dia saya nggak jaim dan takut dia merasa dimarahi, saya nggak takut dia berpikir bahwa saya perempuan pemarah, saya nggak takut untuk kadang menyisipkan kata kasar, karena dia pun tau bahwa saya marah-marah karena butuh. Dia dan saya tahu kalo saya nggak bisa selalu melakukan itu ke orang lain. Dia bisa menerima saya yang sedang marah-marah tanpa berkomentar negatif. Ketika saya sedih dan marah di depan dia I don't need mask anymore. Pada dia terkadang saya temukan rumah.

Tentang marah dan melampiaskan, seorang sahabat pernah bercerita tentang ayahnya. Ayahnya bekerja di bagian pemasaran, di mana ia harus bisa bersikap manis di depan klien. Tapi sesampainya di rumah, ayahnya suka marah-marah dan melampiaskan semua kelelahannya setelah bekerja seharian. Manisnya, sang istri menerima itu semua. Sang istri tau jika marah suaminya bukan karena benci kepada sang istri, namun karena hanya kepada sang istri lah dia bisa melakukan itu semua. He doesn't need mask anymore. He found home at his wife.

Saya suka melakukan hal aneh yang mungkin orang kebanyakan nggak tau. Tapi, di depan adik saya, saya nggak malu untuk melakukan itu. Like everyday I do that to my sister and even my mom and dad. Sometimes I try to do that to my friend and they insult me. Tapi keluarga saya tidak. Mereka tahu bahwa hal seperti itu nggak masalah dilakukan karena konteksnya bercanda. Saya senang bercanda di depan keluarga saya, mereka nggak akan memandang saya aneh dengan bercandaan tidak lucu. Even they set their face like "Apa sih Mbak?", but they always accept my joke whatever it likes. Di depan mereka, I don't need mask anymore, pada keluarga saya, saya temukan rumah.

Mungkin ada orang tertentu yang kita jadikan tempat pulang. Ketika ingin marah, ketika ingin menangis, ketika ingin sekedar cerita, ketika butuh teman ngobrol tengah malam, atau ketika sedang tidak ingin makan sendiri. Mungkin ada orang yang kita jadikan tempat pulang di mana itu tidak bisa kita temukan di orang lain. Kita punya orang yang kita jadikan rumah.

Banyak tempat dan orang yang saya jadikan rumah. Banyak tempat dan orang yang saya jadikan tempat untuk pulang. Meski saya tahu bahwa mereka tidak akan selamanya dan selalu menjadi rumah saya. But one day, I will find my own home. I will find the one can buy me a house and I can give him a home. I will find the one that can take me home. And he will make me to be his home too. He will make me to be his place to come back. 

And one day, someone will knock my door and say "Home, I'm home."