Mewujudkan Mimpi Orang Lain: Di Balik Kostum dan Make Up Jogja Student Orchestra

Sekitar dua bulan yang lalu, seorang sahabat bernama Agung mengirimkan pesan Line kepada saya. Seperti biasa, ia nge-chat saya kalo butuh curhat. Ia bercerita tentang kesibukan dan kesulitannya menjadi koordinator artistik di Jogja Student Orchestra yang saat itu mungkin belum banyak orang tahu, namun saya sudah tahu sejak lama dari seorang teman yang menjadi salah satu koordinator di kepanitiaan tersebut. Sesuai dugaan, ia meminta saya untuk membantunya di bagian artistik khususnya di bagian make up dan kostum. 

Saya tidak langsung mengiyakan, saya berpikir dan menimbang cukup lama. Mengingat bagian itu bukan passion saya dan saya memang ada kesibukan lain saat itu. Tapi, yang paling memberatkan adalah karena hal itu bukan passion saya. Karena mau sesibuk apapun, kalau kamu mencintai sesuatu, kamu akan memberikan yang terbaik bagi hal itu. Setelah babibu, akhirnya saya mengiyakan ajakan Agung untuk gabung di JSO.

Sekedar informasi, Jogja Student Orchestra adalah sebuah orkestra yang lahir dari beberapa kawan saya, yaitu Afriza Animawan, Iwan Setianjaya, Filigon Adiguna, dan Divia Singi. Orkestra tersebut lahir sebagai wadah siswa Jogjakarta untuk menyalurkan minat dan bakat mereka dalam bermusik. Orkestra yang baru lahir ini kebanyakan beranggotakan siswa SD-SMA dan juga mahasiswa. Manisnya, setiap latihan para orang tua menunggui anak mereka. Tidak hanya itu, para orang tua juga ikut mendukung dan membantu berjalannya konser ini. 

Awalnya semua baik-baik saja. Kostum bisa mudah saya tentukan desainnya, sudah ada kenalan penjahit yang terjangkau, dan saya punya kenalan make up yang bisa saya lobi. Awalnya semua serba baik-baik saja. Namun, sungguh tidak ada yang mudah untuk sesuatu yang luar biasa hebat. Masalah datang bertubi-tubi. 

Saya mengalokasikan waktu dua hari untuk pengukuran kostum, namun masih saja ada player yang terlambat mengukur. Parahnya, bahkan ada yang baru H-5 baru mengukur. Saya harus bolak-balik sekian kali dari Pogung ke Pakualaman, rumah ibu penjahit. Bagi orang yang tidak terbiasa berkendara jauh, mengendarai motor pulang pergi dalam kondisi terik dan hujan merupakan sebuah perjalanan melelahkan. Tidak hanya itu, sekali waktu saya harus mengantarkan ibu penjahit ke pasar untuk berbelanja kain. Selain kostum, make up yang saya kira akan baik-baik saja ternyata tidak juga. Karena dana dan waktu yang sangat ngepres, banyak hal yang harus saya atur ulang. 

Sampai pada akhirnya, para orang tua yang tahu keresahan kami dalam pendanaan mencetuskan ide untuk membuat kaos agar bisa dijual ke orang tua untuk mencari dana tambahan. Orang tua ingin mengenakan kaos tersebut di hari H, padahal ide tersebut tercetus di H-4 konser berlangsung. Saya yang tahu vendor kaos cepat, segera berkonsultasi kepada Divia selaku Project Manager. Sejurus kemudian, saya lah yang harus mengurus perkaosan tersebut. 

Mengurus kostum, make up, dan penjualan kaos dalam waktu bersamaan, ditambah dengan harus memegang uang untuk ketiganya dan juga mendata siapa saja yang pesan dan sudah membayar bukan pekerjaan mudah bagi saya. Saya memang bukan orang yang pandai administrasi dan keuangan. Saya buruk dalam hal tersebut. Yang juga menyulitkan adalah saya harus berkomunikasi dengan orang tua yang membayar,  membayar ketiga hal dengan uang sepaket (yang seharusnya terpisah karena pendataan dan keuangan juga terpisah), meminta kaos yang sebaiknya ini-itu, menanyakan mengapa seragam tidak kunjung jadi,, mengurus additional player yang baru bilang kalo tidak punya seragam di H-4, mengurus seragam panitia juga, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Sampai pada akhirnya, saya capek sekali.
Ini bukan passion saya, saya tidak begitu suka mengurus ini, saya tidak suka memegang uang yang bukan milik saya, saya tidak suka berhitung-hitung, apalagi ketika itu kondisi kesehatan saya sedang buruk. Saya malas sekali.

Sampai pada akhirnya, Tuhan lagi-lagi menunjukkan saya beberapa hal: 

Saya tiba-tiba ingat ucapan Iwan yang pasti jauh lelah daripada saya: "Aku ki seneng Mbak sama pendidikan ngene. Coba, jane ngopo aku ngurusi konser pendidikan ngene, padahal aku iso ngelakuke seng liyo seng luwih menguntungkan. (Aku tu senang Mbak dengan pendidikan. Coba, ngapain sebenernya aku ngurusin konser pendidikan seperti ini, padahal aku bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.)" I saw dream and passion on his eyes that moment. 

Kedua, Tuhan tunjukkan pada saya bahwa JSO bukan hanya impian Iwan. Namun ini juga impian para player. Jika tidak demi tampil maksimal di depan orang tua dan banyak orang, para player yang notabene masih duduk di bangku sekolah tidak akan rajin datang latihan tepat waktu padahal mereka sudah lelah sekolah di siang hari namun mereka masih semangat latihan hingga pukul sembilan malam.

JSO bukan hanya impian player tapi ini juga impian orang tua mereka.
Saya bisa melihat itu dari semangat para orang tua mengantarkan anak dan menunggui anak mereka latihan. Mungkin sebenarnya mereka bisa mengerjakan sesuatu yang lebih menguntungkan, mereka bisa istirahat manis di depan TV setelah seharian bekerja, namun mereka memilih menghabiskan waktu untuk sekedar menonton perkembangan anak mereka. 

Suatu saat ketika saya sedang membagi seragam, seorang ibu mendatangi saya dan berkata "Mbak, yang sabar ya sama mama-mama. Maaf kalau kami bikin bingung.". Setelah ibu tersebut mengambil seragam, ia mlipir ke anaknya yang sedang latihan dan menunjukkan seragam itu ke anaknya. Sang anak tersenyum. Saya terharu kala itu.

JSO memang bukan impian saya. Mengurus kostum dan make up bukan passion saya. Saya bukan siapa-siapa di JSO, saya hanya mengurus kostum dan make up. Kemudian terbesitlah bahwa bagaimanapun juga, kostum dan make up merupakan hal penting dalam sebuah pertunjukkan. Kedua hal tersebut tidak sekedar 'hanya'. Hal itu membuat saya menyadari bahwa saat itu saya sedang membantu banyak orang untuk mewujudkan impian mereka. Saya sedang membantu Afriza, Iwan, Divia, dan Fili mewujudkan mimpi mereka untuk melahirkan wadah bagi pelajar Jogjakarta dalam bermusik, saya sedang membantu para anak-anak mewujudkan impian dan passion mereka, saya sedang membantu mewujudkan impian para orang tua untuk melihat anaknya tampil luar biasa dan percaya diri di atas panggung di bawah sorot lampu. Saya sedang membantu mereka mewujudkan impian mereka.

Maka dari itu, setiap kali saya kesal dan lelah, saya selalu ingat Iwan yang wara wiri ke sana kemari mengurus ini itu, saya selalu ingat senyum para orang tua ketika satu lagu selesai dibawakan dalam setiap latihan, saya ingat tepuk tangan mereka yang mengisi ruangan, saya ingat cara mereka merekam anak mereka dengan ponsel, saya ingat susah payahnya mereka berkorban demi anak-anak mereka, dan yang pasti saya ingat kedua orang tua saya. Mungkin jika saya adalah anak yang akan tampil, ibu saya pasti lebih repot daripada para orang tua tersebut. Jadi, ketika suatu waktu banyak orang tua yang menuntut ini-itu, saya selalu berpikir bahwa sudah menjadi tabiat orang tua yang ingin anaknya tampil sempurna dan anaknya selalu baik-baik saja. Kesal pasti pernah, tapi saya lebih baik memendam daripada saya harus kesal ke mereka karena saya sendiri pasti tidak senang jika orang tua saya dimarahi oleh orang lain. 

JSO memang bukan impian saya.
Tapi melihat sekelompok anak SD bernyanyi "Setinggi Langit" dengan kostum masing-masing cita-cita mereka, melihat Joko yang gembira membawakan lagu-lagu Jawa, melihat para vokalis anak-anak yang terus melatih suara mereka sebelum naik panggung, melihat Afriza yang bangga membawakan lagu gubahan almarhum ayahnya, melihat Iwan yang disoraki pujian oleh banyak orang, melihat player yang semangat berfoto ketika sudah mengenakan kostum dan make up lengkap, mendengar seorang player berkata "Mbak Lala tu panitia paling sabar ya.", mendengar anak-anak yang mudah tertawa dengan jokes mereka sendiri, mendengar pujian orang tua tentang kostum anak mereka, ucapan terima kasih dari orang tua dengan tatapan berbinar-binar sungguh lebih dari itu. 

JSO memang bukan impian saya. Mungkin saat ini, saya membantu mereka mewujudkan impian kecil mereka. But someday, I have to pursue my own dreams too. And yes, I need you guys. 

"Percayalah semua akan terjadi... Aku bisa jadi apa saja, setinggi langit di angkasa yang tak ada batasnya. Aku bisa kalau aku mau, cita-cita dan mimpiku setinggi langit!" - Setinggi Langit.

PS. Terima kasih banyak untuk tim artistik yang menyenangkan: Agung, Lala, Puspa, Wahyu, dan Mbak El. Seminggu bukan waktu yang cukup untuk bersama kalian.