Well, yang akan saya tulis berikut adalah obrolan saya dengan dua sahabat saya. Untuk menjaga privasi dan agar saya nggak digetok ma mereka, saya pake nama samaran aja ya. Udah, iya aja deh. Baca ini gratis juga.
Sejak SD mungkin, saya lebih nyaman dan klop kalo main dan ngobrol sama laki-laki. Mungkin karena dulunya saya laki-laki (bercanda sih), ya intinya saya lebih bisa aja klik kalo ngobrol sama mahluk mars ini. Jadilah saya punya beberapa teman dekat laki-laki. Salah duanya adalah Richard dan Matthew (karena nama mereka terlalu jawa, maka saya pake nama bule, biar keliatannya saya gaul ma bule gitu). Matthew adalah teman sejak SD. Kami satu SD, SMP, dan SMA. Sekelas selama sembilan tahun. Gils. Sedangkan Richard, saya dan dia cuma pernah sekelas selama setahun, kenal juga baru kelas 3 SMA. Saya lupa dulu kenapa bisa jadi deket.
Tempo lalu Richard ngajakin ke sebuah tempat makan baru di Semarang, dan saya ngajakin Matthew sekalian (eh asli kok rada geli nulis Richard dan Matthew sedangkan di bayangan saya adalah mereka). Alhasil kami bertiga jalan bareng. Aslinya mau let's say Pabrik Kaya Keju, Richard pikir isinya biskuit keju, tapi ternyata isinya ayam tepung sama keju. Jadilah kami cari tempat makan lain. Setelah ke sebuah toko buku, kemudian makan, kami lanjut untuk mencoba kinda kafe di sudut Kota Lama Semarang. Tempatnya emang bagus banget kalo kata Instagram.
Sampailah kami di sana, tempatnya emang bagus, pake bangunan kuno yang ada di Kota Lama dan lumayan cozy, tapi harganya bikin crazy. Es teh di sana lima belas ribu belum sama pajak, untung bukan pajak bumi dan bangunan. Oke maap.
Setelah mencoba WC nya (ritual rutin saya tiap ke tempat makan), kami duduk bertiga melingkar. Saya sibuk balesin email dan Richard nonton pertandingan bola yang ditayangkan di sana. Kemudian Matthew bilang, "Eh udahan dong main hapenya, kita kan jarang ketemu. Yuk ngomongin masa depan."
Agak kaget sih. I mean, selain bahas perempuan yang lagi dia deketin, kami mungkin nggak pernah bahas hal-hal serius. Apalagi sama Richard, mana pernah bahas serius. Tapi ya udah, saya naro hape dan Richard berhenti nonton bola.
"Yaudah dari kamu," Kata Richard ke Matthew.
"Emm, aku pengennya abis lulus S1, terus S2 ke luar negeri, terus nikah." (Iya sih nggak sesingkat itu, di sela-sela kami masih sempet guyon dan ngatain, tapi yaudah deh itu aja ya).
"Oke... Kamu dulu deh Chard. (anjay, chard)" Kata saya.
"Aku abis S1, pengen nikah. Biar bisa ngiket. Terus lanjut S2 dan kerja." Ini yang agak bikin saya kaget, orang macem Richard pengen nikah abis S1. Saya kira dia cuma cinta ma Arsenal aja.
Kemudian saya menceritakan keinginan saya di masa depan.
Lalu Matthew nanya,
"Lak, hal apa sih yang biasanya membuat perempuan mengizinkan laki-laki untuk masuk?"
Saya diem sebentar, karena saya mikir. "Mungkin, karena nyaman sih. Mau seganteng Andrew Garfield tapi ngga nyaman ya buat apa. Kalo menurutku, bukan sempurna tapi yang bisa klik. Macem masang seatbelt."
"Masa iya? Bukan karena bisa berhubungan baik sama orang tuanya?"
"Emm.. itu iya juga sih. Penting tuh orang tua."
"Nah iya, gimana tuh caranya?"
Kemudian Richard menjelaskan bagaimana bisa unggah-ungguh sama orang tua. Padahal dia belum pernah punya pacar. Yaudah sih ya nggak apa. "Kalo kamu ke rumahnya, nyapa orang tuanya, bawain oleh-oleh, ngajak ngobrol orang tuanya." Itu saran dari Richard, boleh coba diterapkan.
Kemudian obrolan kami lanjut di dalam mobil.
Matthew tiba-tiba bilang, "Aku tu suka kalo lihat perempuan pake jilbab besar. Adem."
Kaget gue. Orang macem dia ternyata alim uga. "Oh suka lihat..." Kata saya mengklarifikasi.
"Ya suka. Adem."
"Suka tapi nggak pengen?"
"Ya pengen."
"Pengen lihat aja gitu?" Saya masih ngga percaya.
"Ya pengen punya yang kayak gitu!" Dia mulai sebah.
"OOOOH HAHAHAHAH."
Kemudian Richard nambahin, "Kalo punya pasangan itu emang kalo bisa yang udah pake jilbab, biar kita nggak dosa." Omongan dia ini juga bikin rada kaget sih.
Terus saya, "Aku kira laki-laki tuh sukanya sama yang baday gitu."
Mereka lantas barengan ngomong "Hih nggak lah!" dengan sangat nggak nyantainya. Saya kaget lagi. "Lha? Kok?"
"Iyalah, yang baday bikin musibah." Kata Matthew.
"Yang baday tu udah aku coret dari awal." Kata Richard.
Bagian ini juga mengejutkan dan mengubah mind set saya.
Masih banyak obrolan lain, yang saya lupa dan yang ngga bisa saya ceritakan. Tapi poinnya adalah, saya cukup kaget dan bangga ketika dua teman saya yang susah serius itu ternyata udah punya pikiran akan masa depannya. Omongan tentang masa depan emang bukan baru sekali ini jadi topik bahasan saya, saya juga pernah bahas ini bareng temen-temen lain, but knowing your close boy-friends yang selama kenal omongannya berkutat pada guyon, bola, dan ketawa itu cukup mengejutkan dan membuat saya bangga sama mereka. Akhirnya ada yang bisa dibanggain dari kalian.
Saya ingat ketika seorang sahabat pernah bilang "Umur segini emang udah waktunya serius, Lak." Tapi yang bilang itu perempuan, dan saya nggak begitu kaget. Perempuan di sekeliling saya emang cukup sering bahas begituan dan berandai-andai, bahkan ada yang udah narget pengen punya anak berapa. Wah! Apalagi dengan banyak mengobrol sama temen-temen laki-laki, sedikit banyak saya tahu keresahan mereka di usia segini. Jadi, bukan cuma perempuan aja yang mikirin masa depan, laki-laki mungkin bahkan nggak sedikit yang tertekan. Saya akui di usia segini menjadi laki-laki nggak mudah, dihadapkan pada masa depan di saat mungkin masih pengen seneng-seneng aja. Saya bilang mungkin, karena yang saya bilang cuma kemungkinan nggak berdasar ilmiah. Hahaha
Saya jadi sedikit mikir, sebentar lagi saya 21 tahun. Udah seharusnya saya mikir masa depan yang di mana masa depan bukan cuma tentang menikah dan bahagia kayak sebuah sitkom di TV Swasta tiap 19.30 itu. Saya baca novel-novel Mira W, Test Packnya Ninit Yunita, After the Honeymoonnya Ollie, dan sekarang sedang baca Critical Elevennya Ika Natassa yang semuanya berkisah tentang kehidupan pernikahan yang belum membahagiakan. Ketakutan sih ada. Tapi, ya namanya hidup pasti ada sulitnya. So, saya percaya menikah nggak semudah itu, tapi yeah saya yakin menikah menjanjikan kebahagiaan.
Mau bahagia sama siapa dan seperti apa, itu sebagian ada di tangan Tuhan, dan sisanya kita sendiri.
Let's face that, guys!
No comments:
Post a Comment