Februari lalu, saya membuat tulisan di awal bulan. Hari ini, saya juga membuat tulisan di awal bulan. Seperti yang sudah pernah saya bilang, saya bukan orang yang suka merayakan pergantian waktu. Tapi, sesekali saya perlu melakukan sesuatu di saat waktu berganti, salah satunya adalah menulis.
Beberapa waktu yang lalu di kelas Psikologi Emosi, dosen saya bertanya kepada masing-masing mahasiswa:
"Apa yang membuatmu bahagia?"
Jawabannya beragam. Dari yang sederhana hingga membuat tertawa. Dari yang hanya bahagia jika diberi kesehatan hingga bahagia jika bertemu cowok ganteng.
Entah kebetulan macam apa, hari itu adalah hari ketika saya memutuskan untuk bahagia. Untuk mengikhlaskan apa yang seharusnya saya ikhlaskan. Di saat dosen saya bertanya kepada saya, saya menjawab "Kebersyukuran."
Kadang saya iri dengan diri saya sendiri. Saya iri dengan diri saya yang bisa bersyukur hingga membuat saya lupa dengan apa yang tidak saya miliki lagi. Kadang juga saya ingin membunuh diri saya yang masih saja bersedih padahal di depan mata saya banyak orang yang lebih pantas bersedih. Juga kadang, kedua bagian di dalam diri saya kerap memperdebatkan, siapa yang paling benar.
Seharusnya nggak ada excuse bagi diri saya untuk bersedih. Saya bangun dalam keadaan sehat fisik, saya bangun dan mendapati matahari masih terbit dari timur, saya bangun dan punya rezeki untuk makan seharian, saya masih menemukan rumah di tawa adik saya, saya masih menemukan rumah di pertanyaan "Udah makan, Mbak?" dari ibu saya, saya masih menemukan rumah di pertanyaan "Kapan pulang, Mbak?" dari ayah saya, saya masih menemukan rumah di "ayok main!", "Lalak jangan sedih.", "Kowe nangis, neh?", "Ada yang bisa aku bantu, Bianglala?", "Semangat skripsinya!", "Mbak Lalak.. aku jaluk tulung..", "Lak kok nggak pernah ke sini? Pada kangen.", "Biiii ke kos sekarang, anterin aku!", "Selasa jam 08.00 setor progress Bab 2 ya.".
Saya masih punya rumah.
Saya masih punya banyak rumah.
Seperti layaknya rumah, saya ke sana untuk istirahat.
Yang saya butuhkan sekarang hanyalah pulang ke sana.
Saya harus pulang sekarang.
Saya harus pulang untuk berbahagia di rumah saya.
"Paling tidak saat ini kita membahagiakan orang lain, namun suatu saat biar Tuhan yang mengembalikan kebahagiaan itu. Karena sebenernya cuma Tuhan yang tau kebahagiaan macam apa yang pantas kita dapatkan dan kapan kebahagiaan itu dapat kita rasakan." - Meminjamkan Kebahagiaan.
"Mau bahagia sama siapa dan seperti apa, itu sebagian ada di tangan Tuhan, dan sisanya kita sendiri." - Masa Depan di Sudut Kota Lama