Berawal dari pertanyaan seorang kawan,
“Kamu sebulan uang sakunya berapa, Lak?”
Kemudian pikiran saya ke mana-mana
Termasuk ingat berbagai macam nominal uang saku
teman-teman dan bukan teman saya
Ada yang sehari jatahnya 30 ribu, ada yang sekali
makan jatahnya 30 ribu
Ada yang sebulan satu juta, ada yang seminggu satu
juta
Ada yang sebulan lima ratus ribu
Ada yang sebulan 300 ribu
Ada yang sebulan tiga juta, ada pula yang gaji
ayahnya nggak sampe tiga juta
Ngomong-ngomong, saya dulu pernah dapat tugas statistika.
Tugasnya disuruh nyari data uang saku dan ukuran
sepatu (iya emang nggak nyambung) mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM.
Kami (sekelompok) awalnya ngira anak-anak kedokteran
UGM uang sakunya berlimpah ruah
Ternyata kami salah besar, sekitar 30 responden yang
kami minta datanya ternyata ‘menolak’ hipotesis skeptis kami
Di situ saya malu sama mereka yang ‘akan’ jadi orang
kaya tapi hidup ‘sederhana’
Kadang saya nggak paham, masih aja ada yang nggak
bersyukur sama uang sakunya
Padahal masih ada yang di bawah mereka
Padahal banyak yang orang tuanya berpenghasilan sama
atau di bawah uang saku orang-orang
Padahal mungkin
banyak yang nggak dikasih, dan mereka berusaha cari sendiri
Mungkin banyak yang nggak tau
Masih ada mahasiswa yang tidur di musola karena
nggak sanggup bayar kosan
Tapi masih ada yang ngeluh kosannya kesempitan
Mungkin banyak yang nggak tau
Masih banyak orang yang berharap bisa duduk manis di
ruang kuliah
Tapi masih ada merasa kurang sama kehidupan
kuliahnya
Bersyukurlah,
Kalo uang sakumu nggak sebanyak teman-teman lain,
masih banyak yang di bawahmu
Kalo uang sakumu memang sedikit, masih banyak yang
nggak dapet uang saku
Kalo kamu nggak dapet uang saku, masih banyak yg
nggak bisa kuliah
Kalo kamu nggak kuliah, masih banyak yang hidupnya
susah
Kalo hidupmu susah, bersykurlah. Masih banyak sperma
yang nggak berhasil menembus dinding telur
Lah ini dari uang saku kenapa sampe sperma?
No comments:
Post a Comment